Friday, December 29, 2017

CEO Message #1 Facing Reality

Face reality as it is, not as it was or as you wish it to be.” Jack Welch
Bagi saya, tugas pertama seorang pemimpin saat mulai mengemban tugasnya adalah menghadapi kenyataan, sepahit apapun kenyataan itu: facing reality and confront the brutal facts.
Pemimpin yang kuat haruslah melihat kenyataan yang dihadapinya dengan clear eyes dan apa adanya, tak dikurang-kurangi, tak ditambah-tambahi. Dengan begitu ia bisa menghadapi dan mencari solusi yang tepat. Seorang pemimpin tak boleh menyangkal apalagi “lari” dari kenyataan sepahit apapun kenyataan tersebut.
Saya sangat setuju dengan pernyataan Jack Welch yang saya kutip di atas. Sebagai pemimpin Anda harus tough menghadapi kenyataan seperti apa adanya, bukan kenyataan yang Anda buat-buat. Setelah membuka diri dan menghadapi kenyataan pahit, ujar Jack Welch, Anda harus sigap dan cepat take actionuntuk menyelesaikannya. Anda tak boleh diam atau banyak berharap kondisi berubah tapi Anda tak melakukan apapun.  
Yang belum tahu siapa Jack Welch, ia adalah mantan CEO General Electric (GE), perusahaan dengan pengelolaan paling baik di dunia. Di tangannya nilai pasar GE naik hingga 4000%. Oleh Majalah Fortune, pada tahun 1999 Jack Welch dinobatkan sebagai manajer terbaik abad ini: “Manager of the Century”. Dalam “CEO Message” ini dan berikutnya saya akan banyak menggunakan contoh kepemimpinan yang dipraktikkan sosok hebat ini.

Brutal Facts
Menghadapi kenyataan kadang kala mengejutkan dan memaksa kita berurusan dengan fakta yang brutal. Seringkali kita mendapatkan fakta lapangan yang pahit, berantakan, sangat jauh dari ideal, dan penuh dengan keterbatasan. Fakta brutal tersebut haruslah disikapi dengan positif, optimis, dan keyakinan bahwa organisasi yang kita pimpin mampu menghadapinya.
Pengalaman saya menunjukkan, memahami fakta brutal akan memunculkan ide kreatif dan pada akhirnya menjadikan sebuah organisasi menjadi baik (good), bahkan hebat (great).
Untuk menerangkan fakta brutal, saya ingin mengambil contoh gampang Blue Bird. Rekan-rekan semua pasti tahu operator taksi ini kini menghadapi kenyataan pahit karena dihantam latent competitors yaitu perusahaan-perusahaan aplikasi seperti Uber atau Grab. Perusahaan berbasis sharing platform tersebut memberikan extraordinary value ke konsumen (seperti tarif yang lebih murah dan kemudahan pemesanan menggunakan apps) yang menjadikan konsumen Blue Bird berpaling ke layanan baru ini.
Sekarang saya tanya, kalau Anda menjadi CEO Blue Bird, apa langkah pertama yang harus Anda lakukan? Hal paling pertama yang harus Anda lakukan adalah secara open mind melihat dan dengan kebesaran hati menerima kenyataan pahit tersebut. Anda tak boleh denial dan memungkiri kenyataan menyakitkan tersebut. Dan setelah itu Anda harus cepat take action.
Contoh lain Pos Indonesia. Pada akhir tahun 1990-an Pos Indonesia menghadapi fakta brutal karena layanan email mulai marak menggantikan surat berperangko. Tak hanya itu, layanan wesel pos pun terancam punah tergerus oleh layanan ATM bank.  Apa hal pertama yang harus dilakukan CEO Pos Indonesia kala itu? Face reality... and then take fast and decisive actions.  

Memprihatinkan
Pertanyaannya, apa fakta brutal yang kita hadapi di Kemenpar? Saat diminta presiden memimpin kementerian ini, hal pertama yang saya lakukan adalah mencermati data-data kinerja pariwisata kita yang sangat menyedihkan. Inilah kenyataan pahit yang kita hadapi bersama. Inilah fakta brutal yang harus kita terima dan dengan super cepat kita cari jalan pemecahannya.
Coba lihat data-data kinerja kita yang memprihatinkan berikut ini. Dari sisi penerimaan devisa, pariwisata Indonesia hanya  SETENGAH  dari Malaysia dan  SEPEREMPAT  dari Thailand. Tahun 2014 Indonesia hanya meraup devisa $11,2 miliar, sedangkan Thailand $38,4 miliar dan Malaysia $21,8 miliar. Bagaimana bisa negara sebesar ini dikalahkan oleh “anak kecil kemarin sore”.  

Fakta brutal lain, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB Indonesia 9,6% adalah yang TERENDAH di ASEAN. Bandingkan dengan Malaysia 13%, Thailand 21%, Filipina 11%, Vietnam 14%, dan atau negara kecil Kamboja yang mencapai 30%.

Tak hanya itu, competitiveness index pariwisata Indonesia tahun 2013 hanya bertengger di urutan buncit 70. Bandingkan dengan Malaysia di posisi 34 dan Thailand 43. Berkat kerja keras kita tahun 2015 lalu memang peringkat ini naik ke posisi 50. Namun jangan keburu puas, karena Malaysia dan Thailand pun naik pesat ke posisi 25 dan 35.

Ironis
Kinerja jeblok tersebut sangat ironis kalau kita melihat potensi pariwisata kita yang luar biasa. Tuhan telah menganugerahi kita kekayaan budaya dan keindahan alam yang luar biasa, namun kita tak bisa memanfaatkannya.

Indonesia adalah “mega biodiversity country” yang begitu kaya tanaman dan tumbuhan nan elok. Dengan sekitar 17.000 jumlah pulau dan 2/3 dari seluruh wilayah merupakan perairan, negeri ini memiliki sekitar 10% dari total spesies tanaman di dunia. Kita memiliki 12% spesies mamalia dunia. Bahkan Indonesia memiliki 17% dari segala macam spesies burung yang ada di dunia.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sekitar 5,8 juta km persegi wilayah laut dengan spesies ikannya mencapai 37% dari total spesies ikan dunia. Kita juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, merupakan peringkat kedua negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Dari garis pantai sepanjang itu, 2/3 di antaranya dilindungi oleh batu karang yang mencapai 15% dari total batu karang yang dimiliki dunia. Praktis semua jenis batu karang di dunia ada di Indonesia.

Menurut World Economic Forum (2015) di bidang Natural & Cultural Resources, Indonesia menempati tempat tertinggi di ASEAN di posisi 17, jauh di atas posisi Filipina (56), Singapura (40), Malaysia (24), dan Thailand (21).

Nah, dengan potensi maha besar seperti itu bagaimana ceritanya kita bisa dikalahkan negara kecil seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Kalau diibaratkan tinju, bisa saya katakan kita ini petinju kelas berat tapi DIKALAHKAN petinju kelas bulu. Betul-betul ironis.

Karena itu ketika Presiden memberi mandat saya untuk mendatangkan 20 juta wisatawan di tahun 2019 banyak orang baik internal maupun eksternal meragukannya. Mereka menyebut itu pekerjaan mustahil. Namun saya berpikiran lain. Kalau kita melihat fakta brutal, seharusnya target itu masih kecil. Kenapa? Karena di tahun yang sama Malaysia dan Thailand diprediksi akan mendatangkan 35 juta wisman.

Itu berarti petinju kelas berat MASIH dikalahkan petinju kelas bulu.

Kita tak boleh menggunakan ukuran internal yang meninabobokkan kita. Itu namanya tidak facing reality. Dalam bertanding kita harus menggunakan ukuran-ukuran lawan kita. Dengan begitu kita tahu bagaimana memenangkan persaingan.

Ingat rekan-rekan, BAIK saja tidak cukup, kita harus menjadi yang TERBAIK.

Demikianlah facing realityStrong leadership itu berawal dari facing reality. Karena dengan melihat fakta yang sebenarnya, kita akan dapat menentukan apa yang harus kita lakukan dengan tepat. Hal ini mengajarkan kita untuk menghadapi kenyataan, meskipun fakta itu brutal.

Salam Solid, Speed, Smart!!!

CEO Message Seri-2, Cara Membangun Corporate Culture WIN-Way Jurus 3S, Solid, Speed, Smart untuk Menjadi Pemenang

JAKARTA – Minggu ke-2 di Rapat Pimpinan (Rapim) di Kantor Kemenpar, Lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Menpar Arief Yahya kembali menuturkan poin-poin penting dalam Corporate Culture WIN-Way. Dia menyebut jurus Wonderful Indonesia Way, dengan CEO Message ke-2. “Kali ini agak panjang, karena saya harus menjelaskan dengan runtut, logic, dan sistematis. Agar nilai-nilai dari Great Spirit dan Grand Strategy nya mendarat di benak insan-insan Kemenpar,” kata Arief Yahya, mengawali presentasinya.
Mantan Dirut PT Telkom ini melanjutkan dengan autokritiknya. Dia menyebut “lelet” untuk menggambarkan dinamika bekerja di lingkungan PNS kebanyakan. Termasuk di lingkungan Kementerian yang dia pimpin. “Lelet” itu mirip cara berjalan siput, lambat, birokratis, dan berorientasi proses. “Bagaimana bisa memenangi persaingan, kalau nyantai? Seolah tidak ada beban? Miskin inisiatif, tidak merasa sedang dikejar-kejar target?” keluh Arief Yahya.
Peta persaingan ke depan adalah yang cepat menyalip yang “lelet”, bukan yang besar menginjak yang kecil. Budaya, cepat, agresif, terus bergerak, menciptakan quick wins, dengan cara-cara cerdas itulah ujung dari “khotbah” Arief Yahya di CEO Message seri-2 ini. “Saya ini tidak tidur berhari-hari! Saya percaya, semangat yang tinggi akan mencari jalannya sendiri untuk sukses!” ucap Arief Yahya yang juga yakin bahwa hanya energi besar seorang pemimpinlah yang bisa “membakar” motivasi pasukannya.
Seluruh peserta Rapim, pejabat Eselon I dan II pun terdiam. Kata-kata yang diucapkan Arief Yahya juga tidak keras. Bukan karena sedang menjalani ibadah puasa. Tetapi lebih untuk menjaga agar semua mata dan telinga orang di ruang rapat itu mencerna dengan utuh. Berikut ini, transkrip CEO Note ke-2 yang bukan hanya untuk dijalankan oleh internal Kemenpar, tetapi juga bisa menginspirasi publik yang sedang menghadapi persoalan manajemen yang mirip:
 
“Karakterlah yang membuat perusahaan/negara itu hebat”
 
CEO Message kedua ini, WIN Way atau *Wonderful Indonesia Way*, barangkali merupakan message terpanjang, karena inilah esensi dari pemikiran kepemimpinan saya di Kemenpar. Karena itu saya harus menjelaskannya dengan runtut dan tuntas.
Melalui WIN Way saya ingin setiap insan Kemenpar bermental pemenang, bukannya pecundang. Saya mengatakan bahwa menjadi pemenang itu bukan pilihan tapi keharusan. Di Kemenpar pun saya mewajibkan setiap insan Kemenpar untuk menjadi pemenang. Tidak ada kamusnya Anda menjadi pecundang. Di Kemenpar, “there’s no place for a loser.”
Saya ingin setiap insan Kemenpar menciptakan “bukit-bukit kemenagan” dan secara terus-menerus menyukseskan “bukit kemenangan satu ke bukit kemenangan berikutnya.” Tahun lalu kita meraih satu bukit kemenangan dalam hal branding dengan memenangkan begitu banyak penghargaan di tingkat dunia. Namun itu baru satu bukit kemenangan. Kita harus menyukseskan bukit-bukit kemenangan berikutnya. Pemimpin yang hebat tak pernah merasa lelah sebelum berhasil mencapai mimpinya untuk menjadi pemenang.
Saya sering mengatakan, untuk menjadi pemenang seorang pemimpin harus memiliki dua elemen dasar, yaitu Great Spirit dan Grand Strategy. Yang pertama menyangkut Heart (hati), yang kedua menyangkut Head (pikiran). Yang pertama menyangkut karakter sebagai hasil olah ruh dan olah rasa, yang kedua menyangkut kompetensi sebagai hasil dari olah rasio dan olah raga.
Great Spirit berkaitan dengan semangat tinggi yang terbentuk oleh keyakinan (belief), nilai-nilai (values), dan perilaku (behavior) yang utama dan mulia. Sementara Grand Strategy berkaitan dengan visi, strategi, model bisnis, atau eksekusi ekselen yang terbangun dari analisis dan daya pikir yang mumpuni.
Spirit dan strategy merupakan dua elemen dasar yang saling melengkapi dan mengisi, sehingga tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Itu sebabnya kunci kesuksesan pemimpin ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan dan mengharmonikan keduanya.
Namun saya mengatakan Spirit itu lebih dahsyat dari Strategy. Setiap pemimpin mutlak harus memiliki semangat yang tinggi karena semangat yang tinggi akan mencari jalannya sendiri untuk sukses.
Nah, WIN Way adalah elemen dari Great Spirit. WIN Way saya ciptakan untuk membentuk karakter pemenang di Kemenpar. Yaitu insan Kemenpar yang memiliki keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku pemenang. Pada hakikatnya tugas pokok pemimpin adalah managing people. Artinya, sebagai pemimpin Anda harus fokus pada aspek orangnya. Anda harus fokus membentuk keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku orang-orang yang Anda pimpin. “Leadership focus on people, management focus on work.” Inilah latar belakang kenapa saya menciptakan WIN Way.
Ingat, yang membedakan satu perusahaan/negara dengan perusahaan/negara lainnya adalah orangnya. Perusahaan/negara itu hebat karena memiliki orang-orang hebat. Bagaimana orang-orang hebat itu tercipta? Karena mereka memiliki karakter yang kuat dan mulia. Camkan ini, “Karakterlah yang membuat perusahaan/negara itu hebat.”
 
Winning Character
Dalam CEO Message minggu lalu, saya telah menguraikan pentingnya seorang pemimpin untuk facing reality and confront the brutal facts. Saya katakan di situ, kita menghadapi fakta brutal dikalahkan oleh negara-negara kecil tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Sebagai pemimpin kita harus melihat brutal fact itu apa adanya. Kita harus berbesar hati melihat kenyataan bahwa selama ini kita memang masih pecundang. Namun kenyataan pahit itu harus bisa menggerakkan hati dan pikiran kita untuk berubah dan membaliknya menjadi pemenang. Brutal fact harus memicu sense of crisis dan kemudian membangkitkan energi yang meluap-luap untuk menang. Untuk menghadapinya, kita harus menjadi “paranoid”, karena seperti dikatakan Andy Grove, pendiri Intel, “only paranoid survive.”
WIN Way saya ciptakan sebagai jurus bagi kita untuk menjadi pemenang. Jurus tersebut terdiri dari tiga elemen yang saya singkat menjadi 3S, yaitu Solid, Speed, Smart. Kenapa saya memilih jurus 3S? Karena tiga unsur inilah yang menjadi kelemahan mendasar dari kementerian/departemen seperti Kemenpar.
Kementerian/departeman pada umumnya tidak bisa Solid karena adanya silo-silo antar unit-bagian, pusat-daerah, pemerintah-swasta. Kita tidak bisa Speed karena adanya kungkungan birokrasi yang membelit. Dan kita tidak Smart karena terjebak dalam suasana comfort zone dan kemapanan yang menghambat terciptanya inisiatif, inovasi dan tumbuhnya ide-ide segar.
 
Solid adalah terwujudnya satu hati, satu pikiran, dan satu tindakan. Adanya soliditas akan melahirkan sahabat sejati, sikap saling menyayangi, saling melindungi, saling membela. Ingat, kekuatan utama sebuah pasukan adalah persatuan: “pelihara persatuan, menangkan persaingan.”
 
Speed adalah bertindak secara cepat dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Ingat, pepatah berikut: “yang cepat memakan yang lambat, bukan yang besar memakan yang kecil.” Kecepatan merupakan sumber terwujudnya kualitas pekerjaan yang tinggi, pemangkasan biaya, dan ketepatan penyampaian produk ke pelanggan (QCD: quality, cost, delivery)
 
Smart adalah bersikap, berpikir dan bertindak secara cerdas dalam pekerjaan yang kita lakukan. Smart terwujud melalui olah rasa melalui intuisi yang tajam, olah rasio melalui kreativitas dan inovasi yang menghasilkan terobosan (breakthrough), dan olah raga melalui aksi-aksi yang impresif.
Saya akan mencoba menguraikan tiga jurus ini satu persatu.
 
Solid
Di Kemenpar saya mengartikan Solid sebagai kekompakan dan persatuan menuju terwujudnya Indonesia Incorporated. Perlu diingat produk wisata merupakan sebuah ekosistem yang melibatkan beragam pihak dan stakeholders. Sebuah produk wisata akan mencakup pemilik destinasi dan masyarakat di sekitarnya, infrastruktur (bandara, jalan, fasilitas, dll.), pelaku industri (travel agent, hotel, transportasi, restoran. dll.), pemerintah sebagai regulator, sekolah pariwisata sebagai penyedia talent, dan sebagainya.
Saya menyebutnya dengan konsep Pentahelix, yang mencakup: academician, business, government, community, media, untuk
[00:56, 6/24/2016] Pak Don Staf khusus menteri:  mudahnya saya singkat menjadi ABGCM. Seluruh unsur Pentahelix harus bahu-membahu dan bergotong-royong untuk memperjuangkan pariwisata Indonesia. Melalui sinergi Indonesia Incorporated maka kita akan mampu menciptakan apa yang saya dapat dari Kellogg Business School, yang disebut 3S-3B, yaitu: Size getting Bigger, Scope getting Broader, dan Skill getting Better. Jadi, melalui Indonesia Incorporated kita akan “Bigger-Broader-Better together.”
Untuk bisa solid, seringkali kita perlu menciptakan musuh bersama atau common enemy. Kenapa saya selalu menyebut Malaysia, Thailand, dan Singapura sebagai negara-negara kecil yang mengalahkan kita, tak lain karena saya ingin menciptakan “musuh bersama” yang harus kita kalahkan. “We need a common enemy to unite us.” Kita butuh musuh bersama sebagai pengikat persatuan dan katalis untuk mewujudkan kemenangan.
Di tahun 1990-an Samsung mencoba menggapai ambisinya untuk menjadi pemimpin pasar dengan menciptakan common enemy yaitu Sony yang sangat perkasa kala itu dengan meneriakkan: “ Beat Sony!!!”. Kini ambisi itu terwujud. Maka kita pun harus meneriakkan: “Beat Malaysia!!!” “Beat Thailand!!!” dan “Beat Singapore!!!”.
Berbicara mengenai Solid, saya teringat kisah menarik dari ahli strategi perang Tiongkok, Sun Tzu, yang hidup di Abad V Sebelum Masehi. Dia ditunjuk Raja Wu memimpin pasukan elite kerajaan yang beranggotakan 180 perempuan cantik yang merupakan istri selir raja. Pasukan itu dibagi ke dalam dua kelompok yang masing-masing dipimpin oleh istri selir tercantik. Sun Tzu menghukum dua pemimpin pasukan tersebut dengan memenggal kepalanya karena mengabaikan perintahnya sampai tiga kali. Raja Wu keberatan, namun Sun Tzu tak bergeming karena sikap dua pemimpin pasukan tersebut telah melemahkan bahkan menghancurkan soliditas pasukan.
Moral cerita dari kisah Sun Tzu itu jelas, yaitu bahwa kalau sudah menyangkut soliditas pasukan, Sun Tzu tidak mau berkompromi. Baginya, soliditas pasukan adalah segalanya untuk bisa memenangkan peperangan. Berkaca dari kisah Sun Tzu, Kemenpar dengan segenap stakeholders-nya haruslah bersatu. Pelihara persatuan untuk memenangkan peperangan.
 
Speed
Speed di Kemenpar saya artikan sebagai kecepatan dalam berpikir (fast thinking), kecepatan dalam memutuskan (fast decision), dan kecepatan dalam masuk ke pasar (fast in getting to market) dengan menyingkirkan belitan-belitan birokrasi yang ada. “Simplify the complex things.” Sederhanakan sesuatu yang rumit agar kita bisa bergerak cepat.
Ingat, tahun 2016 ini sudah ditetapkan oleh Presiden RI sebagai tahun percepatan, tahun akselerasi. Dalam persaingan masa kini dan masa depan, speed itu penting. Presiden menegaskan bahwa salah satu fokus kebijakannya adalah deregulasi (di samping infrastruktur dan SDM) agar para pelaku bisnis tak terbelenggu aturan-aturan dan birokrasi.
Karena alasan itulah kita melakukan terobosan deregulasi pariwisata dengan penerapan Bebas Visa Kunjungan (BVK),  penghapusan ketentuan Clearance Approval for Indonesia Teritory (CAIT), dan asas cabotage untuk cruise atau kapal pesiar asing. Kita juga membentuk Badan Otoritas dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Semua langkah ini tujuannya satu, untuk menjadikan kita speed, tidak lelet. Untuk memenangkan persaingan, tak ada kata lain, kita harus bergerak ngebut. Ingat, the fast eat the slow. Kalau kita tidak speed maka kita akan terus dimakan oleh Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Prof. Michael Porter dari Harvard Business School mengatakan ada empat strategi generik untuk memenangkan persaingan, yaitu: differentiation, cost leadership, focus, dan speed. Dari empat strategi tersebut kelemahan utama kita terletak di speed.
Coba saja lihat, dari sisi differentiation dan focus kita memiliki kekayaan alam melimpah masuk dalam top 20 dunia. Dari sisi cost competitiveness bahkan kita masuk top 3 dunia. Sementara dari sisi business environment yang saalah satu elemennya adalah birokrasi/regulasi kinerja kita sangat buruk. Menurut World Economic Forum hanya di posisi 93 yang kemudian naik menjadi 63 tahun lalu.
 
Smart
Kecepatan yang luar biasa tak akan ada gunanya jika pikiran dan tindakan Anda tidak Smart. Ide dan keputusan yang keliru akan membawa Anda terperosok ke dalam jurang, secepat apapun langkah yang Anda ambil. Karena itu berpikir, bersikap, dan bertindak secara cerdas sangat penting untuk menggapai kemenangan.
Cara Smart pertama adalah melakukan benchmarking. Saya sering mengatakan, cara paling efektif dan paling cepat untuk membawa organisasi kita menjadi yang terbaik adalah dengan melakukan benchmarking. Benchmarking dapat dilakukan antardivisi, antardirektorat, atau ke institusi lain. Dengan benchmarking, semua yang terbaik yang ada di unit atau organisasi lain akan ada di organisasi Anda.
Tidak percaya? Einstein pernah mengatakan, ”Orang biasa itu belajar dari kesalahan diri sendiri, sedangkan saya belajar dari kesalahan orang lain.” Jangan gengsi melakukan benchmarking, memangnya Anda paling pintar? Semakin Anda merasa pintar, maka Anda semakin menjadi orang biasa.
Jangan berpikir bahwa kita telah menemukan sesuatu yang baru, karena di suatu tempat, di suatu masa, seseorang telah berpikir atau telah membuatnya. Jack Welch mengatakannya sebagai NIH (“Not Invented Here”). Awalnya orang-orang GE arogan. Semua gagasan yang tidak datang dari GE dianggap tak berharga. Namun Jack Welch membalikkan paradigma tersebut. Ia marah sekali kalau ada yang tidak mau melakukan benchmarking ke perusahaan lain.
Cara Smart kedua adalah berinovasi. Saya bilang, “hasil yang luar biasa dapat dicapai dengan cara yang tidak biasa.” Kita tak akan bisa memenangkan persaingan kalau terus-menerus bekerja secara rutin alias business as usual. Kita tak akan menjadi yang terbaik kalau terus-menerus melakukan hal yang sama.
Berinovasi berarti kita menciptakan sesuatu yang sama sekali beda. Kata Prof. Chan Kim, penulis buku hebat Blue Ocean Strategy, kalau kita bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali beda (blue ocean), maka kita bisa dengan mudah menghindari persaingan dan persaingan menjadi tidak relevan lagi. Atau dalam ungkapan bijak SunTzu, “kita bisa memenangkan peperangan tanpa peperangan.”
Cara Smart ketiga adalah go digital. Di era disruptive technologies saat ini digital menjadi alat ampuh untuk memenangkan persaingan. Kita melihat Blue Bird begitu mudah digoyang oleh platform digital seperti Grab dan Uber. Industri perhotelan didisrupsi oleh AirBnB. Atau raksasa Kodak takluk oleh digital start-up seperti Instagram.
Karena itu sejak awal memimpin Kemenpar, seluas mungkin saya memanfaatkan platform digital untuk operasi, pengembangan produk, maupun pemasaran. Saya percaya penuh bahwa: The more digital, the more personal. The more digital, the more global. The more digital, the more professional.
Demikian uraian saya mengenai WIN Way. Akhirnya saya berharap bahwa WIN Way bisa bisa menjadi alat ampuh untuk menempa karakter setiap insan Kemenpar agar menjadi insan pemenang.(*)

CEO Message #3 3S di Piala Eropa dan Mudik Lebaran

Rekan-rekan leader di Kemenpar,
Kalau minggu lalu saya sudah menjelaskan budaya kerja 3S: Solid, Speed, Smart secara konseptual, maka kini giliran saya menjelaskannya lagi secara gamblang dengan memberikan contoh. Menjelaskan sesuatu itu kalau dengan contoh akan lebih renyah dan gampang dicerna. Apalagi contohnya saya ambil peristiwa yang sedang hot saat ini.
Apa yang sedang hot beberapa hari terakhir ini? Ada dua. Pertama Piala Eropa di Perancis. Kedua, mudik lebaran yang sama-sama akan kita jalankan minggu depan.
Coba saya tanya, apa yang sama dari dua peristiwa akbar tersebut? Ya, kedua-duanya mendatangkan jutaan massa. Coba saya tanya lagi, sebagai leader di Kemenpar, apa yang Anda pikirkan begitu melihat crowd jutaan orang di Paris dan di kantong-kantong mudik di seluruh Tanah Air? Yes!!! Itu peluang!!! Peluang luar biasa untuk mendatangkan wisatawan. 

Bus Wonderful Indonesia
Beberapa hari ini sejumlah media memberitakan armada bus Wonderful Indonesia di Paris tempat helatan akbar Piala Eropa 2016. “20 bus Wonderful Indonesia mondar-mandir keliling kota selama Piala Eropa,” demikian tulis media. 20 bus city tour kota Paris tersebut bukan sekedar bus biasa, tapi sudah di-branding dengan logo Wonderful Indonesia lengkap dengan gambar atraksi alam dan budaya Indonesia seperti Borobudur, Komodo, penari Bali, hingga Festival Barong Banyuwangi. 
Itu adalah bagian dari program branding kita untuk menarik perhatian jutaan penontong Piala Eropa dari seluruh dunia yang sekarang sedang berkumpul di kota Paris. Piala Eropa adalah momentum emas bagi kita untuk menebar pesona branding Wonderful Indonesia guna memboyong wisatawan dari seluruh dunia ke Tanah Air.
Saya sudah hitung, potensi viewer dari city bus Wonderful Indonesia selama penyelenggaraan Piala Eropa sekitar 22 juta orang, terdiri dari 2,1 juta fans sepak bola yang datang dari berbagai Negara, 12 juta penduduk kota Paris, dan 10 juta penduduk kawasan sekitarnya. Dengan potensi sebesar itu, program ini jatuhnya menjadi sangat murah karena ditonton langsung oleh puluhan juta orang-orang yang potensial sebagai wisman. Salah satu taktik ampuhnya adalah, mereka kita sentuh dengan free Wi-Fi gratis yang landing page-nya masuk ke destinasi wisata unggulan Indonesia.   
Lalu apa hubungannya bus Wonderful Indonesia di Paris dengan 3S? Pertama, upaya menarik perhatian penonton Piala Eropa dengan menggunakan bus city kota Paris yang di-branding dengan logo Wonderful Indonesia adalah sebuah ide yang smart. Kenapa smart? Karena program tersebut menjangkau target audience yang sangat besar, sangat potensial sebagai wisman, dan berbiaya sangat murah. Itu yang saya sebut bekerja dengan Smart.
Kedua, momentum Piala Eropa adalah momentum emas yang euforiannya hanya berlangsung sebulan. Karena itu kita harus bekerja speed untuk memanfaatkan momentum sesaat itu. Memang program city bus di Paris sudah kita rencanakan sejak lama, namun ide menggunakan city bus tersebut untuk memanfaatkan momentum Piala Eropa baru muncul beberapa minggu sebelum event akbar itu berlangsung. Begitu ide didapat, kemudian kita kerja super speed untuk mewujudkannya. Ingat momentum tak datang dua kali. Dan begitu momentum datang kita harus super speed mengejarnya. Itu yang saya maksud bekerja dengan Speed.
Ketiga, begitu kita yakin program ini impactful, saya menginstruksikan Prof. Pitana untuk menggalang berbagai pihak terkait untuk mewujudkannya. Kita menggerahkan semua pihak mulai tim internal di Kemenpar sebagai inisiator, pihak KBRI, hingga perusahaan operator city bus di Paris untuk bahu-membahu merealisasikan ide tersebut. Itu yang saya maksud bekerja dengan Solid.

Ingat! Bekerja itu harus Solid, Speed, Smart.

Mudik Lebaran
Contoh kedua adalah program kita Pesona Lebaran. Sama dengan event Piala Dunia, kalau Anda adalah leader yang entrepreneurial maka Anda akan bisa mengendus peluang di balik momentum mudik lebaran.
Idenya simple, kita punya liburan mudik lebaran selama satu sampai dua minggu, berapa hari untuk ibadah Sholat Ied dan Halal Bihalal? Praktis cuma sehari atau paling lama dua hari. Sisanya untuk apa? Untuk liburan. Apalagi THR sudah di tangan. Inilah ide sederhana di balik program kita Pesona Lebaran. Kalau mereka mudik untuk liburan, why not kita segenap jajaran Kemenpar memberikan informasi berharga bagi pemudik  mengenai destinasi wisata, tempat kuliner, dan atraksi menarik selama masa mudik lebaran.
Saya ingin tahun ini Kemenpar hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan informasi tempat-tempat wisata bagi pemudik. Jadi tak hanya Kementerian Perhubungan (terkait transportasi mudik) dan Kementerian Agama (terkait ibadah puasa dan Idul Fitri) yang hadir di tengah-tengah masyarakat, Kemenpar pun harus hadir. Saya mau brand Kemenpar di mata masyarakat stand-out di masa-masa mudik lebaran. 
Makanya kemudian saya minta semua Kadispar untuk menentukan 10 destinasi yang direkomendasikan, 10 tempat kuliner yang layak dikunjungi, dan 10 event yang wajib ditonton selama mudik lebaran di daerahnya masing-masing. Saya juga minta Don Kardono dan timnya untuk men-share informasi tersebut di media cetak maupun online, di Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain agar tercipta viral di dunia maya. 
Agar branding-nya kuat menancap dan udah terbaca oleh Mbah Google, saya juga minta Don agar hastag-nya diseragamkan. Misalnya kalau kita merekomendasikan destinasi, kuliner, dan event Banten maka hastag-nya: Selamat berlibur, salam #PesonaLebaranBanten #PesonakulinerBanten #PesonaIndonesia #WonderfulIndonesia

Pertanyaannya, apa hubungannya mudik lebaran dengan 3S?
Pertama, program #PesonaLebaran adalah program yang smart. Kenapa? Karena kita memfasilitasi dan menggerakkan jutaan pemudik di berbagai daerah untuk mengunjungi destinasi wisata di saat, tempat, dan waktu yang tepat. Tak hanya itu, program itu adalah bentuk pelayanan kita kepada masyarakat, sekaligus bukti bahwa Kemenpar hadir di tengah masyarakat. Itu yang saya maksud bekerja dengan Smart.
Kedua, seperti halnya kasus Piala Eropa, ide program Pesona Lebaran sesungguhnya datang hanya beberapa minggu sebelum lebaran. Namun begitu ide tercipta, kita bergerak dengan speed. Koordinasi dan penajaman ide dilakukan secara kolaborarif melalui medium grup WA. Dengan medium sederhana seperti grup WA, terbukti proses kita menjadi speed, tak ada birokrasi, tak ada proses bertele-tele, tak perlu menunggu SOP, tak perlu menunggu surat edaran. Itu yang saya maksud bekerja dengan Speed.
Ketiga, dengan koordinasi melalui grup WA juga, kita kerja bergotong-royong, bahu-membahu, saling membantu, saling mengisi, menjadi sebuah tim yang solid. Di grup WA setiap saat saya memantau betapa rekan-rekan dari semua bagian dan daerah begitu semangat dan kompak berkontribusi tanpa dikomando. Itu yang saya maksud bekerja dengan Solid. 

Ingat sekali lagi! Bekerja itu harus Solid, Speed, Smart.

Dengan contoh yang gampang seperti di atas, saya yakin rekan-rekan lebih paham dan lebih gampang mengaplikasikan 3S di pekerjaan, bagian, dan daerah masing-masing. Tak ada alasan lagi Anda tak memahami 3S.
Menutup CEO Message ini saya ingin menekankan, sebagai leader di Kemenpar Anda harus menjadi seorang entrepreneur yang jeli melihat peluang di setiap momentum atau event yang ada. Wujudkan peluang itu dalam bentuk ide program, lalu jalankan 3S: solidkan barisan, speed-kan gerakan, dan smart dalam bekerja.
Kalau sampai setiap leader di Kemenpar, apakah itu Deputi, Asisten Deputi, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Bidang, hingga Kadispar, mampu menjalankan 3S di bagian dan daerah masing-masing, wow hasilnya bakal ruarrrr biasa!!! Tak hanya good, tapi great!!!

Salam Pesona Indonesia!

Menteri Pariwisata
Arief Yahya

CEO Message #4 Spirit Idul Fitri, Spirit Kemenangan

Rekan-rekan leader di Kemenpar,
Di tengah suasana Idul Fitri 1437H saya ingin mengucapkan Minal Aidin Walfaidzin, mohon maaf lahir batin.
Di hari raya yang suci ini, mari kita satukan niat tulus-ikhlas di dalam hati kita. Mari kita hilangkan rasa benci, rasa iri-dengki, rasa dendam, dan menggantinya dengan rasa kasih sayang, rasa persaudaraan, dan rasa persatuan. Dengan hati terbuka, wajah yang berseri-seri, dan senyum yang manis kita ulurkan tangan kita untuk saling bermaaf-maafan.
Mari kita maknai hari yang fitri ini dengan semangat silaturahmi sebagai sarana membebaskan diri dari dosa yang bertautan antar sesama umat manusia. Itu sebabnya kemarin saya menyempatkan diri bersilaturahmi dengan seluruh karyawan Kemenpar dari lantai 23 hingga lantai dasar Gedung Sapta Pesona untuk memberikan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437H dan bermaaf-maafan.
Silaturahmi memiliki keutamaan yang luar biasa seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.” (HR. Al-Bukhari)

Silaturahmi

Idul Fitri menjadi momentum yang sangat tepat untuk mengingatkan kembali mengenai pentingnya silaturahmi dalam mewujudkan budaya kerja 3S khususnya unsur yang pertama yaitu Solid. Silaturahmi merupakan elemen dasar dari soliditas, karena silaturahmi akan menciptakan rasa saling menyayangisaling melindungi, dan saling membela.
Ketika kita selalu memiliki spirit silaturahmi maka di dalam organisasi Kemenpar akan tercipta iklim dan budaya saling percaya (culture of trust). Kondisi saling percaya ini merupakan organizational capital yang menjadi landasan kuat untuk mendorong kinerja organisasi. Dengan adanya culture of trust, soliditas di tingkat individu kemudian ditransformasikan menjadi soliditas di tingkat organisasi. Hasilnya, kohesivitas organisasi menjadi kokoh. Sesungguhnya hubungan personal lebih dahsyat daripada hubungan profesional, karena hubungan personal terbentuk dari ikatan rasa, sedangkan hubungan profesional terbentuk dari analisa rasio.
Ketika hal ini terjadi, maka kita akan lebih mudah melakukan transformasi mewujudkan tujuan organisasi. Seluruh insan Kemenpar akan lebih mudah disatukan oleh visi untuk bergerak ke satu tujuan yang sama. Ketika persatuan solid maka rasa saling curiga dan politik di dalam organisasi akan minimal. Dengan iklim yang kondusif semacam itu, maka kita akan lebih mudah digerakkan untuk mewujudkan visi-misi organisasi.   
Ketika kita memiliki spirit silaturahmi maka proses konsensus dalam mencari solusi terhadap suatu masalah mudah diwujudkan. Mudah bukan karena semua orang kompromistis dalam mencapai kesepakatan, tapi lebih karena mereka memiliki satu orientasi yang sama untuk memberikan solusi terbaik bagi organisasi. Perbedaaan setajam apapun akan mudah dipertemukan jika masing-masing pihak memiliki itikad baik dan orientasi yang sama untuk bersatu-padu memecahkan persoalan bersama.
Ketika kita memiliki spirit silaturahmi maka kita akan berpikir dan berperilaku positif dan optimis, memiliki semangat tinggi untuk berkontribusi, dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Maka strategi dan program sesulit apapun yang ditawarkan ke mereka akan bisa dituntaskan dengan baik. Setiap inisiatif yang dicanangkan oleh pemimpin bisa dengan baik diterjemahkan ke dalam inisiatif/program di berbagai area operasi. Seluruh fungsi yang terkait pun berpartisipasi dan berkontribusi aktif untuk menyukseskannya.

Inilah esensi dari soliditas dan silaturahmi.  

Kemenangan

Idul Fitri juga mengandung spirit kemenangan. Bahkan Idul Fitri juga disebut sebagai Hari Raya Kemenangan. Ya, karena pada hari itu, kita telah menunaikan ibadah Ramadhan meraih kemenangan dengan terlahir kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci. Kita menjadi terlahir kembali sebagai orang-orang yang menang mengendalikan hawa nafsu setelah sebulan penuh berpuasa.
Karena itu Idul Fitri adalah juga momentum yang tepat untuk menggelorakan spirit to be the winner. Ingat, di Kemenpar pemenang itu bukan pilihan tapi keharusan. Setiap insan Kemenpar harus terus-menerus menciptakan dan menyukseskan “bukit-bukit kemenangan”. Dan kita tak akan pernah merasa lelah sebelum kemenangan demi kemenangan bisa kita wujudkan.
Secara pribadi saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan semua, karena selama bulan puasa-lebaran ini kita telah mampu menyukseskan “bukit-bukit kemenangan”.

Di tingkat dunia, beberapa hari lalu MasterCard dan CrescentRating, lembaga pemeringkat global untuk Muslim Travel Market menetapkan Indonesia di urutan ke-2 dalam Global Muslim Travel Index (GMTI). Itu artinya kini Indonesia masuk dalam jajaran elit destinasi wisata halal dunia. Begitu juga Hotel Nihiwatu, Sumba yang beberapa waktu lalu ditetapkan sebagai “#1 Hotel in the World” dalam survei World’s Best Award dari majalah bergengsi Travel + Leisure. Selain itu program “Pesona Lebaran” menjadi trending topicdi Indonesia dan program branding bus city tour “Wonderful Indonesia” di Paris selama gelaran Piala Eropa 2016 berjalan sangat baik, bahkan berdasarkan informasi dari VITO, Indonesia terpilih sebagai destinasi favorit di Perancis. Informasi dari Australia mengukuhkan Indonesia sebagai destinasi dengan kunjungan terbanyak dari outbound wisman Australia, mengalahkan New Zealand. Semua ini adalah prestasi kita semua. Prestasi Tim Pemenang.
Tentu saja keberhasilan itu tak boleh membuat kita gampang puas dan terjebak dalam comfort zone. Masih banyak “bukit-bukit kemenangan” lain yang harus kita sukseskan. Keberhasilan itu haruslah kita sikapi sebagai kemenangan awal (early win) yang menjadi batu pijakan berharga bagi keberhasilan-keberhasilan yang jauh lebih besar.
Menutup CEO message ini saya ingin mengingatkan hakikat bulan Syawal yang baru saja kita masuki. Syawal adalah bulan peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah. Kata Syawal, secara harfiyah memiliki arti “peningkatan”, yakni peningkatan ibadah sebagai hasil latihan selama bulan Ramadhan.
Karena itu bulan yang baik ini seharusnya menjadi penyemangat kita untuk meningkatkan kualitas kerja kita dalam mewujudkan visi-misi Kemenpar melalui perbaikan terus-menerus. Don’t be in the comfort zone, improve all the time Hanya dengan belajar dan memperbaiki diri secara terus-menerus kita bisa menyukseskan “bukit kemenangan” demi “bukit kemenangan”.

Salam Pesona Indonesia!

CEO Message ke-5 Menpar Arief Yahya, Soal Memilih Orang

JAKARTA - Menpar Arief Yahya mengeluarkan CEO Message yang ke-5, Kamis, 21 Juli 2016 di lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Pesan-pesan khusus terkait dengan manajemen, filosofi, leadership, dan benchmark tokoh-tokoh dunia yang inspiratif setiap Minggu sebelum Rapim (Rapat Pimpinan) yang diikuti oleh Eselon I dan II. Kali ini Mantan Dirut PT Telkom ini menuliskan tema "First Who, Then What. Menentukan orang dulu, setelah itu baru mengatakan keinginanmu!" ucap Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI di Jakarta. 
Berikut, catatan lengkap CEO Message ke-5 Arief Yahya itu: 
 
First Who, Then What
Pilih orangnya dulu, kemudian katakan keinginanmu…
 
CEO Message minggu ini saya masih membahas tentang values yang menyangkut human capital yakni prinsip First Who then What.
Jim Collins dalam buku Good to Great menyebutkan bahwa terdapat dua proses besar untuk menggulirkan perubahan di dalam organisasi yang hebat (disebut organisasi Good to Great). Proses pertama adalah “build up” yang terdiri dari: Level 5 Leadership, First Who then What, dan Confront the Brutal Facts. Proses kedua adalah “breakthrough” yang terdiri dari: Hedgehog Concept, Culture of Discipline, dan Technology Accelerators.
Khusus mengenai First Who then What, banyak pemimpin yang lebih memilih pendekatan First What then Who. Mereka seringkali terjebak. Mereka sering mengatakan tetapkan visi, misi, dan strategi, baru kemudian dipilih orang-orangnya. 
Ketahuilah, kalau kita mengambil pilihan itu, berarti kita masih menjalankan Kepemimpinan Level 4 (Level 4 Leadership). Untuk mencapai Kepemimpinan Level 5 (Level 5 Leadership) kita akan memilih First Who then What.
 
Dimulai dengan “Siapa” 
Dalam organisasi Good to Great, yang terpenting adalah memilih orang-orang (“who”) terlebih dulu, dibandingkan menetapkan apa yang harus dilakukan (“what”). 
Bila diilustrasikan dengan sebuah bus, maka transformasi organisasi Good to Great bukan dimulai dari membayangkan ke arah mana bus akan meluncur dan kemudian mencari orang-orang yang mengemudikannya untuk menuju ke sana. Tetapi yang pertama-tama dilakukan justru mencari orang yang tepat untuk disertakan dalam bus dan baru kemudian membayangkan ke mana bus tersebut akan berjalan.  
Karena itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh pemimpin hebat (Great Leader) dalam memulai transformasi adalah menempatkan orang yang hebat (Great People) di dalam “bus”-nya. Pemimpin Good to Great menggunakan tiga prinsip dalam memulai sebuah proyek transformasi organisasi. 
Pertama, ia selalu memulai transformasi dengan “siapa” (who) daripada “apa” (what). Hal ini memungkinkan si pemimpin untuk beradaptasi terhadap perubahan, seekstrim apapun perubahan yang dihadapi organisasi. 
Kedua, bila Great Leader mempunyai Great People berada di dalam “bus”, maka ia tahu persis bahwa sebagian masalah sirna dengan sendirinya, terutama masalah yang terkait dengan memotivasi dan mengelola orang. Ya, karena Great People akan memotivasi dirinya sendiri untuk selalu memberikan hasil yang terbaik bagi organisasi. 
 Ketiga, ia juga tahu persis bahwa organisasi dengan arah yang tepat namun diisi dengan orang-orang yang tidak tepat, tidak akan pernah menciptakan organisasi yang hebat (great organization). Kata Jim Collins, “great vision without great people is irrelevant.”
 
Ruthless vs Rigorous
Organisasi-organisasi yang menerapkan prinsip First Who then What tidak memiliki budaya yang kejam (ruthless), melainkan tegas (rigorous). 
Ruthless berarti mengganti orang sembarangan tanpa pertimbangan yang matang.  Di sini si pemimpin membiarkan orang tetap bekerja padahal mereka banyak membuang waktu berharga si pemimpin. Sementara pada saat yang bersamaan sebenarnya si pemimpin memiliki kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih baik.
 Sedangkan rigorous berarti si pemimpin secara konsisten menerapkan standar yang tepat pada setiap kesempatan dan tingkatan. Orang-orang terbaik tidak perlu merasa khawatir atas posisinya dan dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya.
 
Bagaimanakah cara bersikap rigorous?
 
Pertama, ketika ragu terhadap orang yang akan direkrut, maka jangan keburu diterima, tetaplah mencari yang terbaik. 
Untuk tumbuh, perusahaan jangan hanya fokus pada pasar, teknologi, dan kompetisi. Perusahaan sebaiknya berkonsentrasi pada pencarian orang-orang hebat dan sebaik mungkin mempertahankannya.
Ingat Hukum Packard (berasal dari nama David Packard, salah satu pendiri Hewlett-Packard) yang mengatakan: “No company can grow revenues consistently faster than its ability to get enough of the right people to implement that growth and still become a great company.” (Tidak satupun perusahaan dapat menumbuhkan pendapatan secara konsisten lebih cepat dibanding kemampuannya memilih orang-orang yang tepat untuk mengimplementasikan pertumbuhan tersebut dan tetap menjaga sebagai perusahaan hebat).
Kedua,  ketika kita tahu bahwa perlu dilakukan perubahan orang, maka lakukanlah. 
Orang-orang hebat tidak perlu diatur, namun cukup dibimbing dan diberi pengertian. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak tepat, yang tetap berada di dalam organisasi? Ketika kita membiarkan orang-orang yang tidak tepat tetap berada di posisinya, maka hal itu akan merepotkan seluruh tugas kepemimpinan kita. Orang-orang yang tidak tepat akan selalu menjadi pikiran bagi kita dan seringkali menghabiskan energi kita, sangat melelahkan.
Dalam melakukan perubahan, lakukanlah segera, jangan menunggu. Seringkali perubahan orang ini ditunda-tunda disebabkan ketidaknyamanan untuk mengganti orang-orang yang tidak tepat. Celakanya, hal tersebut seringkali berdampak pada orang-orang yang tepat, disinilah sesungguhnya terjadi “kekejaman” pada orang-orang yang tepat tersebut.
Perusahaan Good to Great tidak memiliki teori “try a lot of people and see who works”, coba-coba merekrut sebanyak mungkin orang, lantas dilihat mana yang bagus. Mereka menggunakan waktunya untuk mencari orang yang sangat tepat untuk suatu posisi.  
Ketiga, tempatkan orang-orang terbaik kita pada peluang terbesar, bukan pada masalah terbesar.
Sebagai pemimpin, satu hal ini harus kita camkan: “When you decide to sell off your problems, don’t sell off to your best people (bila kita memutuskan untuk membereskan masalah kita, janganlah memberikannya kepada orang-orang terbaik kita). Tempatkan orang-orang terbaikmu di pusat-pusat pertumbuhan bisnis, jangan tempatkan mereka pada bisnis yang sedang sekarat.
Organisasi Good to Great memiliki kebiasaan menempatkan orang-orang terbaiknya pada peluang terbesar, bukan masalah terbesar. Jajaran pemimpin dari organisasi Good to Great terdiri dari orang-orang yang sangat bersemangat untuk saling berdebat dalam rangka mendapatkan solusi terbaik; dan mereka solid mendukung begitu solusi terbaik tersebut sudah diputuskan. 
Di sini kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat berdebat dan memiliki argumen (bukan “yes man”) untuk memperoleh jawaban terbaik di satu sisi. Namun di sisi lain, mereka juga secara penuh dan komitmen tinggi mendukung setiap keputusan yang telah dibuat. Jadi mereka bukanlah problem maker yang sibuk kasak-kusuk dan berpolitik untuk memancing di air keruh.
Menutup CEO message ini saya ingin mengutip sekali lagi kata-kata bijak Jim Collins, “the right people are your most important assets.” Orang-orang yang tepat adalah aset terpenting dari sebuah organisasi. Dan ingat, orang-orang yang tepat tersebut lebih banyak ditentukan oleh karakter (character) dan kapabilitasnya (capability) dibandingkan dengan keahliannya (skill).  
Akhirnya saya berharap bahwa organisasi yang kita cintai ini bisa mengimplementasikan prinsip First Who then What dan mampu menempatkan orang-orang terbaik di posisi-posisi terbaik. 
Dengan orang-orang terbaik sudah berada pada posisinya, saya yakin Kemenpar akan menjadi Great Ministry dengan kinerja yang luar biasa. Mari kita wujudkan organisasi yang kita cintai ini menjadi kementerian terbaik di negeri ini dan mampu mengalahkan negara-negara pesaing dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
 
Salam Pesona Indonesia!

CEO Message ke-6 Menpar Arief Yahya Mengupas Soal Spirit Ikhsan

Berikut ini, transkrip lengkap pesan CEO atau CEO Message yang ditulis Menpar Arief Yahya yang juga mantan Dirut PT Telkom ini. Silakan disimak baik-baik.

Menjadi yang Terbaik
“Baik itu tidak cukup baik, kita harus selalu menjadi yang terbaik”
Menjadi yang  terbaik adalah sebuah keyakinan dasar (basic belief) yang harus dimiliki setiap insan Kemenpar untuk selalu memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Dengan sikap mental dasar untuk menjadi yang terbaik maka kita bisa mendedikasikan dan mempersembahkan yang terbaik pula kepada Kementerian yang kita cintai ini, kepada bangsa dan negara, dan lebih universal lagi kepada seluruh umat manusia (“rahmatan lil ‘alamin”).

Standar Tertinggi

Untuk bisa menjadi yang terbaik maka kita harus memiliki standar kinerja tertinggi (highest standard of performance) yang diterapkan kepada dirinya maupun kepada anak buah kalau kita adalah pemimpin. Standar tertinggi ini berlaku baik dari sisi nilai-nilai (values), perilaku (behavior), ataupun kapabilitas/kompetensi. Di samping itu standar tertinggi juga dari sisi hasil-hasil yang ingin kita capai (achievement/result). Bila ingin menjadi world class player, gunakan world class standard.
Dari sisi nilai-nilai dan perilaku misalnya, saya menuntut setiap insan Kemenpar untuk memiliki standar integritas tertinggi, standar kejujuran tertinggi, atau standar daya juang dan keuletan tertinggi, nggak gampang loyo dan menyerah. Dari sisi kapabilitas dan kompetensi, saya menuntut ekspertis terbaik, yang dapat dibentuk dengan cara membangun (“build”), kalau tidak bisa dicukupi dari dalam terpaksa sementara harus meminjam (“borrow”) atau membeli (“buy”) ekspertis dari luar. Sementara dari sisi hasil, saya menuntut capaian-capaian terbaik: nomor 1, nomor 2, atau mentok nomor 3.  
Itu artinya kita harus membentuk dan menempa dirinya mencapai kualitas personal tertinggi (highest personal quality). Kalau keyakinan dasar ini sudah dimiliki, maka pada gilirannya kita akan menjadi pribadi yang selalu high demanding, high achiever, dan memiliki sense of perfection. Kita akan menuntut standar tertinggi tersebut tanpa pandang bulu dan tanpa pernah berkompromi.
Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang “kejam” terhadap dirinya maupun anak buah, kalau sudah menyangkut standar kinerja. Ia tetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Kemudian ia paksa dan lecut dirinya dan anak buahnya untuk mencapai standar tinggi tersebut. Begitu standar tersebut bisa dicapai, maka ia naikkan lagi standar itu lebih tinggi lagi agar potensi dirinya dan anak buahnya keluar. Demikian setrusnya hingga akhirnya ia mampu mencapai hasil kerja tertinggi
Dengan me-leverage diri secara terus-menerus, pada akhirnya ia dan anak buahnya akan menjadi pribadi-pribadi yang hebat (great), bukan cuma baik (good). Ingat, baik saja tidak cukup, kita harus menjadi orang hebat.

Never-Ending Journey

Upaya untuk mencapai yang terbaik (excellence) adalah sebuah perjalanan yang tak pernah mencapai titik akhir (a never-ending journey). Secara sederhana, saya sering mengistilahkannya dengan “menciptakan bukit kemenangan satu ke bukit kemenangan berikutnya”.
Karena itu menjadi yang terbaik juga harus disikapi secara dinamis sebagai sebuah sikap mental untuk tidak mudah berpuas diri terhadap setiap hasil kerja yang dicapai. Sikap mental inilah yang memungkinkan perusahaan selalu memiliki sense of urgency dan tak mudah terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone) dalam mencapai prestasi terbaik.
Tuntutan akan standar kinerja tertinggi merupakan mekanisme untuk memberikan tantangan (challenges) dan dorongan (drives) agar kita tidak terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone). Standar tertinggi sekaligus memberikan leverage effect, yaitu dorongan agar kita bekerja di atas kemampuan normal yang dimiliki. Kalau secara normal kita mampu mengerjakan pekerjaan 100%, maka dengan leverage (pengaruh) ini kita berupaya keras untuk mencapai 125% atau bahkan 150%.
Berbicara mengenai sikap mental menjadi yang terbaik, saya menjadi teringat mantan CEO legendaris GE, Jack Welch. Pada suatu kesempatan, Jack Welch ditanya oleh anak buahnya tentang mengapa GE harus selalu menjadi nomor satu. Jack Welch menjawabnya begini, “Kalau kita nomor satu dan nomor dua, pada saat kondisi sulit, kita akan bisa tetap sustain. Namun bila kita berada di nomor 4, 5 atau 6, maka di masa sulit kita tidak bisa sustain.”
Intinya Jack Welch ingin menekankan bahwa kita harus selalu menjadi yang terbaik. To be number one, to be number two, or to be gone. Dalam bisnis, Jack Welch mengatakan kalau tidak nomor satu dan nomor dua, harus pergi. Keep, fix, sell. Karena itu kepada para pemimpin di Kemenpar saya sering mengatakan, kalau memang bagus lakukan, keep it; kalau kurang bagus masih diperbaiki, fix it; dan kalau sudah tidak bisa bagus, tanggalkan, sell it.

Spirit of Ihsan

Kata kunci untuk menjadi yang terbaik adalah memperbaiki diri secara terus-menerus. Karena itu saya mengatakan, sikap mental untuk menjadi yang terbaik merupakan perwujudan dari spirit Ihsan yang mengandung tiga makna, yaitu “memperbaiki” (ahsana), “lebih baik” (yuhsinu), dan “terbaik” (ihsanan).
Orang yang memiliki spirit Ihsan akan senantiasa memperbaiki hal-hal yang biasa menjadi sebuah kondisi yang lebih baik, dan apabila perbaikan itu dilakukan secara terus-menerus, maka pada akhirnya akan membawanya menjadi yang terbaik. Jadi kalau bicara tentang Ihsan, maka continuous improvement menjadi sebuah keharusan. Continuous improvement dalam rangka mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya.
Saya sering mengilustrasikan karakter Ihsan dengan sifat-sifat mulia dari seorang ibu. Mengapa ibu kita sangat mencintai kita dengan tulus ikhlas? Mengapa ibu kita membesarkan kita tanpa pamrih apapun? Mengapa ibu kita mengasuh dan merawat kita dengan penuh kasih, penuh sayang? Saya kemudian bertanya lagi.  Penuh kasih, penuh sayang itu sifat siapa? Sifat siapakah Ar Rahman (pengasih) dan Ar Rahim (penyayang) itu? Itu tak lain adalah sifat-sifat Tuhan.
Karena itu saya berkesimpulan, ibu kita hebat dan mulia karena beliau menggunakan sifat Tuhan untuk mengasuh dan membesarkan kita. Jadi karakterlah yang membuat ibu kita hebat. Atau lebih tepatnya, karakter Tuhanlah yang membuat ibu kita hebat.
Oleh karenanya, alangkah mulianya kita kalau dalam hidup dan dalam bekerja menggunakan karakter Tuhan, atau manajemen Tuhan, atau akhlak Tuhan. Saya meyakini karakter Tuhanlah yang bisa membuat Kemenpar hebat. Karakter Tuhan adalah fondasi kesuksesan sejati. Nah, menurut beberapa ahli, karakter tertinggi Tuhan itu adalah Ihsan, yang artinya “yang terbaik” atau “yang sempurna”. Meski disadari kita tidak dapat melakukan sepenuhnya, namun kita harus selalu menuju ke sana. 
Memiliki spirit Ihsan mengandung esensi bahwa kita memiliki komitmen rohani, dimana saat beribadah, termasuk didalamnya saat bekerja, mata hati kita melihat Tuhan. Ketika mata hati kita melihat Tuhan, maka dengan sendirinya kita akan mempersembahkan karya yang terbaik kepada Tuhan.
Bekerja itu merupakan bagian ibadah kepada Tuhan. Maka kita akan bekerja dengan ilmu terbaik, konsep terbaik, strategi terbaik dan teknik-teknik kerja terbaik  untuk memberikan hasil yang terbaik. Inilah konsekuensi sebuah prinsip bahwa apapaun yang dilakukan manusia pada hakikatnya merupakan persembahan (ibadah) kepada Tuhan.
Sekali lagi, karena bekerja merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan, maka dalam bekerja pun kita juga harus mempersembahkan yang terbaik. Kalau kita bekerja diawasi oleh atasan, maka kita masih bisa sembunyi atau mengelabuhi. Tapi karena dilihat dan diawasi Tuhan, maka  kita tak akan bisa menyembunyikan diri, kita tak bisa bohong, kita tak bisa mengelabuhi.
Konsekuensi logisnya adalah, kita tidak punya pilihan lain kecuali harus bekerja sebaik dan sesempurna mungkin. Inilah esensi Ihsan.

Salam Pesona Indonesia

CEO Message #7 Shadow Management

Kalau mau mentransformasi bisnis, industri, atau organisasi saya punya tiga opsi terkait SDM yang harus saya siapkan untuk menjadi pelaku transformasi yaitu: to buildto buy, dan to borrow. Kita bisa memilih satu, dua, atau ketiga alternatif tersebut secara bersamaan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang terjadi.
To build adalah membangun SDM yang kita miliki dari nol. Kita training mereka untuk membentuk core character dan cora comptence yang dibutuhkan untuk menggulirkan transformasi. Karena dimulai dari awal maka opsi ini perlu waktu lama. Ingat, untuk membentuk competence apalagi character kita butuh waktu lama, bertahun-tahun.
Pilihannya menjadi sulit karea opsi ini butuh waktu lama sementara kita dituntut hasil yang cepat. Deliverables kita itu sekarang, bahkan kemarin. To build bukanlah opsi yang baik untuk kebutuhan mendesak saat ini, namun tetap kita lakukan untuk tujuan jangka panjang. Contohnya program Win Way Chanpion yang sekarang sedang disiapkan Prof. Ahman di Deputi Pengembangan Kelembagaan.
Yang kedua, to buy adalah mengganti seluruh manajemen dengan orang-orang mumpuni dari luar. Opsi ini bisa cepat menuai hasil kinerja tapi memiliki kelemahan mendasar, karena jauh dari membina bawahan. Sebagai pemimpin, tugas paripurna saya adalah mengembangkan character dan competence setiap insan Kemenpar agar mereka bisa meneruskan organisasi ini mencapai sukses. Ingat, the ultimate task of a leader is creating other leaders. Karena itu, opsi ini tidak saya ambil, kecuali sangat kepepet.
Nah, opsi yang paling optimum adalah to borrow. Kita panggil para ahli dari luar untuk membantu kita mentransformasi organisasi. Kita minta mereka menjadi “shadow” kita. Kenapa opsi ini saya sebut optimum? Karena dengan opsi ini to build-nya dapat, dan to buy-nya juga dapat. Di satu sisi, kita mendapat ekspertis dari orang-orang profesional terbaik di luar. Di sisi lain, kita bisa bisa menggunakan mereka untuk membina orang-orang di dalam Kemenpar.
Karena itu kita sudah memutuskan untuk mengambil opsi to borrow dan saya menyebut approach ini dengan istilah: shadow management.   

Ekspertis Terbaik
Rekan-rekan leader di Kemenpar, kita telah memilih orang-orang terbaik yang duduk di shadow management team, yang membantu kita mentransformasi Kemenpar menjadi great ministry. Mereka adalah big name, orang-orang terbaik di bidangnya. Tak hanya itu, mereka sangat senang membantu kita karena memang mereka adalah orang-orang yang sangat passionate di bidang tersebut.
Ambil contoh Pak Hiramsyah yang kita percaya membantu mengembangkan 10 destinasi unggulan. Beliau ini memiliki pengalaman panjang, jatuh-bangun sekitar 30 tahun, mengasah kemampuan di bidang ini. Mana mungkin kita bisa melampaui ekspertis beliau. Untuk bisa melampaui ekspertis Pak Hiramsyah minimal kita harus melampaui kurun waktu 30 tahun dulu. Jadi dengan shadow management kita memangkas waktu 30 tahun.
Begitu juga Pak Indroyono Soesilo yang kita percaya membantu pengembangan wisata bahari. Siapa yang tidak tahu Pak Indroyono? Beliau adalah orang terbaik di negeri ini untuk urusan kebaharian. Seorang geologist, ahli kemaritiman terkemuka yang begitu passionate di bidangnya. Untuk bisa membentuk ekspertis seperti yang dimiliki Pak Indroyono dibutuhkan waktu puluhan tahun, dan dengan shadow management kita men-short cut waktu tersebut.  
Untuk pengembangan pariwisata halal kita punya Pak Riyanto Sofyan yang sudah banyak makan asam-garam merintis Hotel Sofyan, hotel syariah pertama di Indonesia, menjadi sukses seperti sekarang. Pak Riyanto adalah orang yang paling mengerti pariwisata halal di negeri ini. Capaiannya luar biasa, membawa Hotel Sofyan menjadi The World’s Best Family Friendly Hotel di ajang World Halal Travel Award. Coba bayangkan jika kita harus mengembangkan orang hebat seperti pak Riyanto ini, akan butuh puluhan tahun, sementara kita harus deliver result sekarang.
Untuk branding dan PR kita meminjam ekspertis dari konsultan terbaik dunia, yaitu Ogilvy. Mereka memiliki model dan framework yang sudah teruji puluhan tahun. Coba bayangkan jika kita harus mengembangkan sendiri framework itu, kita butuh waktu bertahun-tahun, itupun hasilnya pasti tak sebaik yang dimiliki Ogilvy. 
Itulah kehebatan shadow management, kita bisa mendapatkan orang-orang terbaik dan ekspertis terbaik tanpa harus memulainya dari nol, not starting from the zero. Kita bisa potong kompas untuk menghasilkan yang terbaik.

Orang Terpandai
Pendekatan shadow management bukannya tidak memiliki kelemahan. Kelemahan yang umum terjadi adalah adanya resistensi yang datang dari dalam organisasi. Resistensi ini biasanya muncul dari orang-orang dalam yang merasa tersaingi, merasa ketidakmampuannya terlihat orang lain, merasa domain kepentingannya terusik, atau terbentuknya silo-silo dan politik kantor.
Karena mengancam eksistensinya, biasanya mereka berupaya keras menciptakan konflik dan mempersulit ruang gerak anggota shadow management agar program-program yang digulirkannya terhambat. Karena dijegal sana-sini, maka anggota shadow management merasa tidak comfortable, program mandeg, dan ujung-ujungnya mereka mental ke luar. Ketika mereka mental keluar, maka amanlah posisi dan eksistensi si orang dalam tersebut. 
Saya tak mau resistensi ini terjadi di Kemenpar. Ironis sekali, mereka itu kita undang untuk membantu kita lha kok justru kita hambat dan kita persulit. Rekan-rekan tak perlu takut tergantikan posisinya oleh orang-orang shadow management. Dalam bahasa yang jelas saya katakan, saya tak akan mengganti Rekan-Rekan di posisinya. Kalau saya punya niat untuk mengganti, pasti sudah saya ganti dari dulu-dulu.  
Tujuan saya mencangkokkan shadow management adalah to build, yaitu mengembangkan kemampuan Rekan-Rekan semua. Jadi kalau Rekan-Rekan open mind, tidak takut, dan fully support terhadap shadow management, maka pasti tidak saya ganti. Tapi kalau Rekan-Rekan takut, sehingga tidak menerima shadow management, maka justru akan saya ganti.
Kalau misalnya terjadi konflik atau ketidaksepahaman antara orang internal (struktural) dan orang shadow management, kira-kira saya lebih percaya yang mana? Tentu saja saya percaya yang orang shadow management. Kenapa? Karena kalau saya tidak percaya, tak mungkin saya akan menunjuk orang tersebut. Kalau saya tak percaya, dari awal pasti saya tak akan memilih dia.
Jadi sekali lagi saya tegaskan, justru yang saya lakukan adalah memperkuat posisi Rekan-Rekan dengan cara mendatangkan shadow management mengembangkan kemampuan dan kapasitas kita. Ingat, yang memperkuat kita di posisi dan jabatan kita tak lain dan tak bukan adalah kemampuan kita.
Apa defini orang terpandai itu? Saya katakan: “orang terpandai adalah orang yang bisa memanfaatkan orang-orang yang lebih pandai dari dirinya untuk kepentingannya.” Jadi bodoh sekali kalau kita sampai resisten dan mempersulit para anggota shadow management yang ekspertisnya bisa kita gunakan untuk memajukan Kemenpar. Kita adalah orang terpandai jika kita bisa memanfaatkan mereka untuk kemajuan kita. Jadi ingat, kalau rekan-rekan ingin saya nilai sebagai orang yang terpandai, maka gunakanlah shadow management.
Coba kita bertanya dalam hati, kalau shadow managementberhasil menjadikan Kemenpar hebat, siapa yang bakal mendapat nama? Yang mendapatkan nama adalah kita, orang-orang Kemenpar. Yang akan mendapat manfaat adalah kita orang-orang Kemenpar. So, kenapa harus resisten.

Lebih dari Ikhlas
Karena para anggota shadow management memiliki passion di bidang keahliannya, maka mereka bekerja membantu kita dengan senang hati dan sepenuh hati. Karena itu ironis jika kita tidak men-support dan memberikan sumber resource sebaik mungkin kepada mereka. Kita harus ikhlas, bahkan lebih dari ikhlas. Kenapa? Karena ini adalah kebutuhan kita. Ini untuk kita Kemenpar, bukan untuk mereka.
Saya akan memberikan analogi yang mungkin tidak mirip tapi filosofinya sama. Setiap akhir pekan, Sabtu atau Minggu, saya selalu menyetir mobil sendiri setiap kali pergi bersama keluarga. Setiap kali mau pergi saya selalu menyiapkan uang pecahan cukup besar untuk diberikan kepada fakir-miskin di jalan. Jadi di setiap ada traffic light perempatan saya meminta anak-anak untuk memberikan uang itu kepada para fakir-miskin.
Yang saya ajarkan ke anak-anak adalah, kita memberi uang kepada fakir-miskin itu bukan semata karena kebutuhan si fakir-miskin, tapi terutama karena memberi itu kebutuhan kita. Kenapa begitu? Kalau kita percaya kehidupan di akhirat, maka kenikmatan yang kita peroleh nanti di akhirat bukanlah berasal dari uang yang kita gunakan untuk kepentingan kita. Tapi uang yang kita sisihkan untuk kepentingan orang lain dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah.
Jadi kalau kita memberikan uang kepada fakir-miskin, maka itu merupakan kebutuhan kita, agar kita beroleh kenikmatan nanti di akhirat. Kita memberi zakat dan sedekah kepada fakir-miskin sesungguhnya bukan untuk mereka, tapi untuk bekal kita nanti setelah hari kiamat. Maka dari itu kata ikhlas tepat di sini, bahkan saya katakan: lebih dari ikhlas. Nah, serupa dengan analogi memberi kepada fakir-miskin, kita harus lebih dari ikhlas dalam men-support dan melayani shadow management, karena mereka hadir semata-mata untuk kepentingan kita.
Menutup CEO Message ini saya ingin mengingatkan kembali budaya kerja yang kita yakini bersama yaitu 3S, terutama S yang pertama yaitu Solid. Menjalin “persatuan” antara kita dan para anggota shadow management adalah landasan penting bagi Kemenpar untuk merajut sukses. Kalau kita Solid maka tantangan sebesar apapun akan bisa kita tuntaskan. Namun kalau kita resisten, saling curiga, saling sikut, dan tidak bisa bekerjasama, maka masalah remeh pun tak mampu kita selesaikan. 

Salam Pesona Indonesia!