Tuesday, December 23, 2014

Ungkapan Rindu Di Puncak Merbabu

Di jembatan setan anganku melayang jauh, menimbulkan getaran rindu yang tak terperikan. Dadaku berdegub kencang, air mataku menetes tak tertahankan. Setiap tebing yang kudaki, setiap kelokan yang kulewati mengingatkan memori indah kebersamaan dengan anak-anak pertamaku di kapala. Puncak dari segala puncak gejolak perasaan ini tumpah di puncak syarif, tak ada kata yang terucap ... hanya isak tangis...

Puncak Merbabu Kapala 2014

Merbabu 15 tahun lalu
Kisah cinta ini bermula dari perkenalanku dengan mas pri, ardianta, calvin dan rara. Kisah cinta seorang yang belum berani mengaku sebagai pecinta alam karena kejujurannya pada diri sendiri dan Tuhan. Kejujurannya bahwa perjalanannya ke Puncak – Puncak Gunung, menuruni lembah, memasuki lorong goa yang gelap dan menyusuri sungai  adalah bentuk aktifitas penikmat alam bukan pecinta alam.
Kisah cinta berlanjut seiring dengan proses kesadaran untuk lebih mencintai alam.  Sebuah kesadaran untuk mencoba mendefinisikan hakekat pecinta alam yang sesuangguhnya. Kesadaran untuk lebih memahami segala bentuk aktifitas hedonis di alam bebas untuk pencarian jati dirinya. Siapa aku? Untuk apa aku hidup? Untuk apa aku bertualang? Benarkan aku seorang pecinta alam? Atau sekedar penikmat alam yang menimbulkan kerusakan semak belukar dan pepohonan yang menyebabkan bencana bagi umat manusia?
Pertanyaan – pertanyaan yang terus berkecamuk dalam kehidupan nyata bagaikan mimpi di siang bolong yang selalu mengusik hati dan pikiranku. Pertanyaan – pertanyaan yang seolah tak pernah puas dengan jawaban para senior dan sesepuh pecinta alam. Pertanyaan yang butuh  proses perenungan diri untuk menjawab dan memaknainya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Pertemuanku dengan mas pri berlanjut di meja perundingan yang akrab namun seru dan penuh perdebatan. Keinginannya untuk mendirikan mapala di kampus mas Pri menimbulkan pemikiran baru di kepalaku. Mas Pri selalu mengulang – ulang pernyataannya bahwa salah satu yang menyebabkan keinginannya mendirikan mapala adalah rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang kental saat mendaki gunung. Tentu saja banyak alasan lain yang dia kemukakan, namun dari pengertian mapala = mahasiswa pecinta alam, dan rasa kebersamaan dan kekeluargaan itulah kemudian konsep “kepedulian terhadap sesama dan alam” menjadi dasar kesepakatan awal untuk pendirian mapala.
Truk Pasir
Deru suara truk mengaung menggema membelah sore mendaki tanjakan wekas. Kepanikan muncul ketika truk tiba-tiba berhenti ditengah tanjakan. Sontak beberapa anak laki-laki meloncat turun dan mencari batu sebagai pengganjal agar truk tidak melorot turun. Peristiwa kepanikan itu merupakan konsekwensi penggunaan truk angkutan pasir untuk mengangkut manusia. Maklum saja faktor biaya yang jauh lebih murah dibanding sewa bus menjadi alasan utama.
“Naik angkutan apapun jadilah asalkan cita-cita menggapai salah satu atap tanah jawa tercapai”, begitu kata mas pri dan seluruh peserta pendakian massal. Dalam suasana penuh sendau gurau dan senandung nyanyian silih berganti akhirnya truk menepi di tikungan wekas yang legendaris. Tikungan sejarah yang menjadi penanda para pendaki turun dari angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan ke basecamp dengan berjalan kaki. Tikungan yang sangat dikenali oleh para kenek dan sopir magelang – salatiga. Saking legendarisnya tikungan itu maka setiap ada penumpang yang membawa carier diturunkan disana tanpa ditanya.
Tanjakan wekas menuju basecamp pendakian merbabu adalah ujian pertama peserta pendakian massal. Tak satupun dari mereka yang pernah menginjakkan kakinya di Merbabu sehingga ujian pertama ini sebagai bentuk seleksi alam bagi peserta yang mudah menyerah. 3 peserta menggigil dan beberapa diantaranya muntah-muntah karena masuk angin. Guyuran hujan dan cuaca dingin menjadi penyebabnya.

Setelah mendapatkan perawatan dari rekannya dan istirahat semalaman, semua peserta menyatakan kesiaapannya untuk mendaki merbabu di keesokan harinya. Dewi dan sandra yang dianggap paling lemah diantara yang lainpun menyatakan ingin terus mencoba menginjakkan kaki di puncak merbabu. Semangat pantang  menyerah yang menjadi modal awal sangat membanggakan untuk di  kemudian hari  mendirikan organisasi.
bersambung bag 2

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.