Di jembatan setan anganku melayang jauh, menimbulkan getaran rindu yang
tak terperikan. Dadaku berdegub kencang, air mataku menetes tak tertahankan.
Setiap tebing yang kudaki, setiap kelokan yang kulewati mengingatkan memori
indah kebersamaan dengan anak-anak pertamaku di kapala. Puncak dari segala
puncak gejolak perasaan ini tumpah di puncak syarif, tak ada kata yang terucap
... hanya isak tangis...
Puncak Merbabu Kapala 2014
Merbabu 15 tahun lalu
Kisah cinta ini bermula dari
perkenalanku dengan mas pri, ardianta, calvin dan rara. Kisah cinta seorang
yang belum berani mengaku sebagai pecinta alam karena kejujurannya pada diri
sendiri dan Tuhan. Kejujurannya bahwa perjalanannya ke Puncak – Puncak Gunung,
menuruni lembah, memasuki lorong goa yang gelap dan menyusuri sungai adalah bentuk aktifitas penikmat alam bukan
pecinta alam.
Kisah cinta berlanjut seiring
dengan proses kesadaran untuk lebih mencintai alam. Sebuah kesadaran untuk mencoba mendefinisikan
hakekat pecinta alam yang sesuangguhnya. Kesadaran untuk lebih memahami segala
bentuk aktifitas hedonis di alam bebas untuk pencarian jati dirinya. Siapa aku?
Untuk apa aku hidup? Untuk apa aku bertualang? Benarkan aku seorang pecinta
alam? Atau sekedar penikmat alam yang menimbulkan kerusakan semak belukar dan
pepohonan yang menyebabkan bencana bagi umat manusia?
Pertanyaan – pertanyaan yang
terus berkecamuk dalam kehidupan nyata bagaikan mimpi di siang bolong yang
selalu mengusik hati dan pikiranku. Pertanyaan – pertanyaan yang seolah tak
pernah puas dengan jawaban para senior dan sesepuh pecinta alam. Pertanyaan
yang butuh proses perenungan diri untuk
menjawab dan memaknainya.
Pucuk dicinta ulam tiba.
Pertemuanku dengan mas pri berlanjut di meja perundingan yang akrab namun seru
dan penuh perdebatan. Keinginannya untuk mendirikan mapala di kampus mas Pri
menimbulkan pemikiran baru di kepalaku. Mas Pri selalu mengulang – ulang
pernyataannya bahwa salah satu yang menyebabkan keinginannya mendirikan mapala
adalah rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang kental saat mendaki gunung. Tentu
saja banyak alasan lain yang dia kemukakan, namun dari pengertian mapala =
mahasiswa pecinta alam, dan rasa kebersamaan dan kekeluargaan itulah kemudian
konsep “kepedulian terhadap sesama dan alam” menjadi dasar kesepakatan
awal untuk pendirian mapala.
Truk Pasir
Deru suara truk mengaung menggema
membelah sore mendaki tanjakan wekas. Kepanikan muncul ketika truk tiba-tiba
berhenti ditengah tanjakan. Sontak beberapa anak laki-laki meloncat turun dan
mencari batu sebagai pengganjal agar truk tidak melorot turun. Peristiwa
kepanikan itu merupakan konsekwensi penggunaan truk angkutan pasir untuk
mengangkut manusia. Maklum saja faktor biaya yang jauh lebih murah dibanding
sewa bus menjadi alasan utama.
“Naik angkutan apapun jadilah
asalkan cita-cita menggapai salah satu atap tanah jawa tercapai”, begitu kata
mas pri dan seluruh peserta pendakian massal. Dalam suasana penuh sendau gurau
dan senandung nyanyian silih berganti akhirnya truk menepi di tikungan wekas
yang legendaris. Tikungan sejarah yang menjadi penanda para pendaki turun dari
angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan ke basecamp dengan berjalan kaki.
Tikungan yang sangat dikenali oleh para kenek dan sopir magelang – salatiga.
Saking legendarisnya tikungan itu maka setiap ada penumpang yang membawa carier
diturunkan disana tanpa ditanya.
Tanjakan wekas menuju basecamp
pendakian merbabu adalah ujian pertama peserta pendakian massal. Tak satupun
dari mereka yang pernah menginjakkan kakinya di Merbabu sehingga ujian pertama
ini sebagai bentuk seleksi alam bagi peserta yang mudah menyerah. 3 peserta
menggigil dan beberapa diantaranya muntah-muntah karena masuk angin. Guyuran
hujan dan cuaca dingin menjadi penyebabnya.
Setelah mendapatkan perawatan
dari rekannya dan istirahat semalaman, semua peserta menyatakan kesiaapannya
untuk mendaki merbabu di keesokan harinya. Dewi dan sandra yang dianggap paling
lemah diantara yang lainpun menyatakan ingin terus mencoba menginjakkan kaki di
puncak merbabu. Semangat pantang menyerah
yang menjadi modal awal sangat membanggakan untuk di kemudian hari
mendirikan organisasi.
bersambung bag 2
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.