Friday, October 22, 2021

Kisah Guru di Ngawi, Tinggal Bersama Kambing dan Anak Sering Diejek, Camat Sampai Menangis

 


TRIBUNNEWS.COM - Seorang guru di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur hidup dengan kondisi memprihatinkan.

Adalah Sri Hartuti, warga Dusun Suren, Desa Pandean, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Ngawi.

Ia bersama suami serta ketiganya anaknya harus tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan jati.

Ironisnya, ia tinggal satu atap bersama beberapa ekor kambing.

Sri Hartuti sudah mengajar selama belasan tahun dan masih berstatus guru tidak tetap.

Gaji per bulan yang hanya Rp 350.000 tak cukup untuk membangun rumah yang layak.

Tinggal dengan kambing

Mengutip kompas.com, Sri Hartuti dan keluarganya menempati rumah sederhana berlantai tanah yang menyatu dengan kandang kambing.

Dinding dan pintunya terbuat dari anyaman bambu.

Tampak celah-celah menganga di beberapa sisi sehingga angin bisa masuk dengan mudah.

Bau tak sedap meyeruak dari kandang kambing yang satu atap dengan rumah.

"Mohon maaf baunya tak sedap dari kandang kambing," kata Sri Hartuti di rumahnya, Kamis (21/10/2021).

Anak diejek tidur dengan kambing

Dikatakan Sri Hartuti, kambing yang berada di rumahnya dipelihara untuk membantu perekonomian keluarga.

Kambing-kambing itu terkadang dijual untuk membeli beras.

Karena hanya memiliki rumah yang sederhana, kambing-kambing tersebut ditempatkan berdampingan dengan rumah utama.

Lantaran hal itu, Sri Hartuti mengaku anaknya kerap diejek oleh temannya.

"Anak saya nomor dua yang kelas 1 sering diejek temannya tidur dengan kambing," tuturnya, dilansir Kompas.com.

Rumah Sri Hartuti yang menyatu dengan kandang kambing membuat teman teman anaknya mengejak tidru dengan kambing. (KOMPAS.COM/SUKOCO)© KOMPAS.COM/SUKOCO Rumah Sri Hartuti yang menyatu dengan kandang kambing membuat teman teman anaknya mengejak tidru dengan kambing. (KOMPAS.COM/SUKOCO)

Ia pun hanya bisa menghibur ketiga anaknya jika mereka diolok-olok.

Saat anaknya diejek, Sri Hartuti akan mengatakan pada buah hatinya bahwa saat ini Tuhan sedang menguji keluarga mereka.

Dia pun berharap agar kelak ketiga anaknya mengingat sulitnya hidup mereka saat ini.

"Biar mereka ingat bagaimana rasanya menjadi orang tidak punya sehingga tidak sombong kalau sudah sukses," terangnya.

Gaji Rp 350.000 per bulan

Bekerja sebagai guru tidak tetap, Sri Hartuti mendapatkan gaji Rp 350.000 per bulan.

Diketahui, ia sudah mengajar selama 17 tahun.

Sementara, suaminya bekerja serabutan di kebun dengan penghasilan tak seberapa.

Kondisi tersebut membuat mereka tak bisa membangun rumah yang layak.

Bahkan, tempat yang saat ini mereka tinggali dibangun di atas tanah Perhutani.

"Ini pun tanahnya numpang di Perhutani. Untuk memperbaiki, gaji kami tak cukup," ungkapnya.

Bantu entaskan buta huruf

Meski dengan kondisi kekurangan, Sri Hartuti tetap melaksanakan kewajibannya sebagai pendidik.

Dia ingin masyarakat di desanya bisa membawa dan menulis.

Sebab, masih banyak warga di desanya yang buta huruf.

Selain itu, banyak anak yang putus sekolah karena kemiskinan.

"Pada awal mengajar di sini, anak kelas 4 SD banyak yang tidak bisa membaca. Saya ingin anak-anak di sini pandai," bebernya, dilansir Kompas.com.

Berkat usahanya selama ini, banyak muridnya telah melanjutkan pendidikan tinggi hingga menjadi pengusaha sukses.

"Meski keadaan saya begini, saya bangga kalau ada anak didik saya yang tahu lewat di sini menyapa saya."

"Anak didik saya sudah ada yang jadi polisi, pengusaha, dan banyak juga yang kuliah," paparnya.

Camat menangis

Kondisi memprihatinkan Sri Hartuti dan keluarganya sampai membuat Camat Karanganyar, Nur Yudhi M Arifin menangis.

"Saya pertama melihat langsung tanya ke kepala dusun (Kasun), itu rumah apa seperti kandang kambing karena di depannya memang ada kambing," kata Arifin saat ditemui di rumah Sri Hartuti.

Arifin mengaku baru pertama kali menemukan rumah warganya yang sangat tidak layak huni.

"Saya keliling ke sini karena persentase vaksin di kampung sini hanya 14 persen," ucapnya.

Arifin menyebutkan, akan berusaha membantu Sri Hartuti agar bisa hidup lebih layak.

"Saya merasa jadi camat gagal, saya akan berusaha membantu sebisanya," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Kompas.com/Sukoco)


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.