Wednesday, November 19, 2014

November Rain :" Sang Penolong Yang Kutakuti"


"Ini bukan cerita tentang kepahlawanan, ini juga bukan tentang kisah mistis yang menyeramkan, namun ini adalah kisah nyata pertemuan seorang pendaki yang dalam kesendirian bertemu dengan penunggu sumbing"

Keberanian yang muncul di saat titik terlemah memunculkan cerita lain yang lebih seru dan menegangkan. Ketika tatapan mataku sudah menjulang ke puncak, kesulitan muncul lagi. Senterku terjatuh dan bolam lampu putus. Namun keberanian adalah keberanian. Dengan langkah hati - hati aku tetap merayap mendaki lereng sumbing dengan hati yang mantap. Tak sampai sepeminuman teh, muncul lagi kesulitan karena kabut turun disertai titik - titik air yang sangat dingin. Kondisi gelap, tidak ada penerangan karena bolam putus membuatku mati kutu. Melanjutkan pendakian berarti bertaruh nyawa karena bisa kesasar atau jatuh ke jurang, namun berhentipun bukan berarti pilihan yang aman karena dengan perlengkapan yang terbatas juga akan berarti kedinginan atau bahkan beku.

Pertolongan Tuhan lah yang akhirnya aku bisa mengambil keputusan yang tepat. Di lereng yang terjal itu ada lubang yang dapat kumanfaatkan sebagai perlindungan. Dengan ponco dan seutas tali aku buat bivak diatas lubang itu dan dengan bekal sarung dapat melindungiku dari dinginnya kabut. Tak lupa perlengkapan perapian dari lilin dan kaleng yang sudah kusiapkan dari rumah  kunyalakan sehingga menambah hangatnya bivakku. Sekejap aku terlelap.....


Entah mimpi atau nyata, tiba-tiba aku sudah melanjutkan pendakian menuju puncak sumbing. Langit cerah, kabut tidak menampakkan diri dan rintik hujan telah reda. Jelang Watu Kotak aku bertemu dengan seorang laki - laki berjambang yang sedang duduk sambil makan nasi hangat yang masih mengepulkan asap. Makannya lahap sekali dan sesekali minum kopi hangat. Ketika aku melangkah disampingnya, Pak tua menawariku untuk bergabung makan bareng. " Mas... Monggo dahar sarapan rumiyen...", kata pak tua padaku. Kujawab, "injih matur nuwun pak, meniko badhe muncak rumiyen", 
Kulanjutkan langkahku sedikit berbelak kekiri menuruni lereng, karena emang jalan menuju puncak berkelok ke kiri akibat jalur utama yang longsor. Tak jauh setelah ku melangkah, aku mencoba mengingat sesuatu. Penampakan pak tua tadi kupikir agak aneh, jam segini pagi makan nasi hangat yang masih mengepul? dan tidak kulihat ada perapian atau alat masak di sekitarnya. Lalu nasi itu bagaimana tetap panas? tak sadar ku menengok kebelakang untuk memastikan kebaradaan pak tua itu dan betapa kagetnya ketika di dekat watu kotak tidak ada siapa - siapa, tidak ada orang ataupun nasi yang mengepul.
Bulu kudukku berdiri, merinding. Tak sadar aku berbalik dan mengambil langkah seribu kembali turun gunung... * inikah penunggu sumbing?*

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.