JAKARTA – Minggu ke-2 di Rapat Pimpinan (Rapim) di Kantor Kemenpar, Lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Menpar Arief Yahya kembali menuturkan poin-poin penting dalam Corporate Culture WIN-Way. Dia menyebut jurus Wonderful Indonesia Way, dengan CEO Message ke-2. “Kali ini agak panjang, karena saya harus menjelaskan dengan runtut, logic, dan sistematis. Agar nilai-nilai dari Great Spirit dan Grand Strategy nya mendarat di benak insan-insan Kemenpar,” kata Arief Yahya, mengawali presentasinya.
Mantan Dirut PT Telkom ini melanjutkan dengan autokritiknya. Dia menyebut “lelet” untuk menggambarkan dinamika bekerja di lingkungan PNS kebanyakan. Termasuk di lingkungan Kementerian yang dia pimpin. “Lelet” itu mirip cara berjalan siput, lambat, birokratis, dan berorientasi proses. “Bagaimana bisa memenangi persaingan, kalau nyantai? Seolah tidak ada beban? Miskin inisiatif, tidak merasa sedang dikejar-kejar target?” keluh Arief Yahya.
Peta persaingan ke depan adalah yang cepat menyalip yang “lelet”, bukan yang besar menginjak yang kecil. Budaya, cepat, agresif, terus bergerak, menciptakan quick wins, dengan cara-cara cerdas itulah ujung dari “khotbah” Arief Yahya di CEO Message seri-2 ini. “Saya ini tidak tidur berhari-hari! Saya percaya, semangat yang tinggi akan mencari jalannya sendiri untuk sukses!” ucap Arief Yahya yang juga yakin bahwa hanya energi besar seorang pemimpinlah yang bisa “membakar” motivasi pasukannya.
Seluruh peserta Rapim, pejabat Eselon I dan II pun terdiam. Kata-kata yang diucapkan Arief Yahya juga tidak keras. Bukan karena sedang menjalani ibadah puasa. Tetapi lebih untuk menjaga agar semua mata dan telinga orang di ruang rapat itu mencerna dengan utuh. Berikut ini, transkrip CEO Note ke-2 yang bukan hanya untuk dijalankan oleh internal Kemenpar, tetapi juga bisa menginspirasi publik yang sedang menghadapi persoalan manajemen yang mirip:
“Karakterlah yang membuat perusahaan/negara itu hebat”
CEO Message kedua ini, WIN Way atau *Wonderful Indonesia Way*, barangkali merupakan message terpanjang, karena inilah esensi dari pemikiran kepemimpinan saya di Kemenpar. Karena itu saya harus menjelaskannya dengan runtut dan tuntas.
Melalui WIN Way saya ingin setiap insan Kemenpar bermental pemenang, bukannya pecundang. Saya mengatakan bahwa menjadi pemenang itu bukan pilihan tapi keharusan. Di Kemenpar pun saya mewajibkan setiap insan Kemenpar untuk menjadi pemenang. Tidak ada kamusnya Anda menjadi pecundang. Di Kemenpar, “there’s no place for a loser.”
Saya ingin setiap insan Kemenpar menciptakan “bukit-bukit kemenagan” dan secara terus-menerus menyukseskan “bukit kemenangan satu ke bukit kemenangan berikutnya.” Tahun lalu kita meraih satu bukit kemenangan dalam hal branding dengan memenangkan begitu banyak penghargaan di tingkat dunia. Namun itu baru satu bukit kemenangan. Kita harus menyukseskan bukit-bukit kemenangan berikutnya. Pemimpin yang hebat tak pernah merasa lelah sebelum berhasil mencapai mimpinya untuk menjadi pemenang.
Saya sering mengatakan, untuk menjadi pemenang seorang pemimpin harus memiliki dua elemen dasar, yaitu Great Spirit dan Grand Strategy. Yang pertama menyangkut Heart (hati), yang kedua menyangkut Head (pikiran). Yang pertama menyangkut karakter sebagai hasil olah ruh dan olah rasa, yang kedua menyangkut kompetensi sebagai hasil dari olah rasio dan olah raga.
Great Spirit berkaitan dengan semangat tinggi yang terbentuk oleh keyakinan (belief), nilai-nilai (values), dan perilaku (behavior) yang utama dan mulia. Sementara Grand Strategy berkaitan dengan visi, strategi, model bisnis, atau eksekusi ekselen yang terbangun dari analisis dan daya pikir yang mumpuni.
Spirit dan strategy merupakan dua elemen dasar yang saling melengkapi dan mengisi, sehingga tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Itu sebabnya kunci kesuksesan pemimpin ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan dan mengharmonikan keduanya.
Namun saya mengatakan Spirit itu lebih dahsyat dari Strategy. Setiap pemimpin mutlak harus memiliki semangat yang tinggi karena semangat yang tinggi akan mencari jalannya sendiri untuk sukses.
Nah, WIN Way adalah elemen dari Great Spirit. WIN Way saya ciptakan untuk membentuk karakter pemenang di Kemenpar. Yaitu insan Kemenpar yang memiliki keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku pemenang. Pada hakikatnya tugas pokok pemimpin adalah managing people. Artinya, sebagai pemimpin Anda harus fokus pada aspek orangnya. Anda harus fokus membentuk keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku orang-orang yang Anda pimpin. “Leadership focus on people, management focus on work.” Inilah latar belakang kenapa saya menciptakan WIN Way.
Ingat, yang membedakan satu perusahaan/negara dengan perusahaan/negara lainnya adalah orangnya. Perusahaan/negara itu hebat karena memiliki orang-orang hebat. Bagaimana orang-orang hebat itu tercipta? Karena mereka memiliki karakter yang kuat dan mulia. Camkan ini, “Karakterlah yang membuat perusahaan/negara itu hebat.”
Winning Character
Dalam CEO Message minggu lalu, saya telah menguraikan pentingnya seorang pemimpin untuk facing reality and confront the brutal facts. Saya katakan di situ, kita menghadapi fakta brutal dikalahkan oleh negara-negara kecil tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Sebagai pemimpin kita harus melihat brutal fact itu apa adanya. Kita harus berbesar hati melihat kenyataan bahwa selama ini kita memang masih pecundang. Namun kenyataan pahit itu harus bisa menggerakkan hati dan pikiran kita untuk berubah dan membaliknya menjadi pemenang. Brutal fact harus memicu sense of crisis dan kemudian membangkitkan energi yang meluap-luap untuk menang. Untuk menghadapinya, kita harus menjadi “paranoid”, karena seperti dikatakan Andy Grove, pendiri Intel, “only paranoid survive.”
WIN Way saya ciptakan sebagai jurus bagi kita untuk menjadi pemenang. Jurus tersebut terdiri dari tiga elemen yang saya singkat menjadi 3S, yaitu Solid, Speed, Smart. Kenapa saya memilih jurus 3S? Karena tiga unsur inilah yang menjadi kelemahan mendasar dari kementerian/departemen seperti Kemenpar.
Kementerian/departeman pada umumnya tidak bisa Solid karena adanya silo-silo antar unit-bagian, pusat-daerah, pemerintah-swasta. Kita tidak bisa Speed karena adanya kungkungan birokrasi yang membelit. Dan kita tidak Smart karena terjebak dalam suasana comfort zone dan kemapanan yang menghambat terciptanya inisiatif, inovasi dan tumbuhnya ide-ide segar.
Solid adalah terwujudnya satu hati, satu pikiran, dan satu tindakan. Adanya soliditas akan melahirkan sahabat sejati, sikap saling menyayangi, saling melindungi, saling membela. Ingat, kekuatan utama sebuah pasukan adalah persatuan: “pelihara persatuan, menangkan persaingan.”
Speed adalah bertindak secara cepat dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Ingat, pepatah berikut: “yang cepat memakan yang lambat, bukan yang besar memakan yang kecil.” Kecepatan merupakan sumber terwujudnya kualitas pekerjaan yang tinggi, pemangkasan biaya, dan ketepatan penyampaian produk ke pelanggan (QCD: quality, cost, delivery)
Smart adalah bersikap, berpikir dan bertindak secara cerdas dalam pekerjaan yang kita lakukan. Smart terwujud melalui olah rasa melalui intuisi yang tajam, olah rasio melalui kreativitas dan inovasi yang menghasilkan terobosan (breakthrough), dan olah raga melalui aksi-aksi yang impresif.
Saya akan mencoba menguraikan tiga jurus ini satu persatu.
Solid
Di Kemenpar saya mengartikan Solid sebagai kekompakan dan persatuan menuju terwujudnya Indonesia Incorporated. Perlu diingat produk wisata merupakan sebuah ekosistem yang melibatkan beragam pihak dan stakeholders. Sebuah produk wisata akan mencakup pemilik destinasi dan masyarakat di sekitarnya, infrastruktur (bandara, jalan, fasilitas, dll.), pelaku industri (travel agent, hotel, transportasi, restoran. dll.), pemerintah sebagai regulator, sekolah pariwisata sebagai penyedia talent, dan sebagainya.
Saya menyebutnya dengan konsep Pentahelix, yang mencakup: academician, business, government, community, media, untuk
[00:56, 6/24/2016] Pak Don Staf khusus menteri: mudahnya saya singkat menjadi ABGCM. Seluruh unsur Pentahelix harus bahu-membahu dan bergotong-royong untuk memperjuangkan pariwisata Indonesia. Melalui sinergi Indonesia Incorporated maka kita akan mampu menciptakan apa yang saya dapat dari Kellogg Business School, yang disebut 3S-3B, yaitu: Size getting Bigger, Scope getting Broader, dan Skill getting Better. Jadi, melalui Indonesia Incorporated kita akan “Bigger-Broader-Better together.”
Untuk bisa solid, seringkali kita perlu menciptakan musuh bersama atau common enemy. Kenapa saya selalu menyebut Malaysia, Thailand, dan Singapura sebagai negara-negara kecil yang mengalahkan kita, tak lain karena saya ingin menciptakan “musuh bersama” yang harus kita kalahkan. “We need a common enemy to unite us.” Kita butuh musuh bersama sebagai pengikat persatuan dan katalis untuk mewujudkan kemenangan.
Di tahun 1990-an Samsung mencoba menggapai ambisinya untuk menjadi pemimpin pasar dengan menciptakan common enemy yaitu Sony yang sangat perkasa kala itu dengan meneriakkan: “ Beat Sony!!!”. Kini ambisi itu terwujud. Maka kita pun harus meneriakkan: “Beat Malaysia!!!” “Beat Thailand!!!” dan “Beat Singapore!!!”.
Berbicara mengenai Solid, saya teringat kisah menarik dari ahli strategi perang Tiongkok, Sun Tzu, yang hidup di Abad V Sebelum Masehi. Dia ditunjuk Raja Wu memimpin pasukan elite kerajaan yang beranggotakan 180 perempuan cantik yang merupakan istri selir raja. Pasukan itu dibagi ke dalam dua kelompok yang masing-masing dipimpin oleh istri selir tercantik. Sun Tzu menghukum dua pemimpin pasukan tersebut dengan memenggal kepalanya karena mengabaikan perintahnya sampai tiga kali. Raja Wu keberatan, namun Sun Tzu tak bergeming karena sikap dua pemimpin pasukan tersebut telah melemahkan bahkan menghancurkan soliditas pasukan.
Moral cerita dari kisah Sun Tzu itu jelas, yaitu bahwa kalau sudah menyangkut soliditas pasukan, Sun Tzu tidak mau berkompromi. Baginya, soliditas pasukan adalah segalanya untuk bisa memenangkan peperangan. Berkaca dari kisah Sun Tzu, Kemenpar dengan segenap stakeholders-nya haruslah bersatu. Pelihara persatuan untuk memenangkan peperangan.
Speed
Speed di Kemenpar saya artikan sebagai kecepatan dalam berpikir (fast thinking), kecepatan dalam memutuskan (fast decision), dan kecepatan dalam masuk ke pasar (fast in getting to market) dengan menyingkirkan belitan-belitan birokrasi yang ada. “Simplify the complex things.” Sederhanakan sesuatu yang rumit agar kita bisa bergerak cepat.
Ingat, tahun 2016 ini sudah ditetapkan oleh Presiden RI sebagai tahun percepatan, tahun akselerasi. Dalam persaingan masa kini dan masa depan, speed itu penting. Presiden menegaskan bahwa salah satu fokus kebijakannya adalah deregulasi (di samping infrastruktur dan SDM) agar para pelaku bisnis tak terbelenggu aturan-aturan dan birokrasi.
Karena alasan itulah kita melakukan terobosan deregulasi pariwisata dengan penerapan Bebas Visa Kunjungan (BVK), penghapusan ketentuan Clearance Approval for Indonesia Teritory (CAIT), dan asas cabotage untuk cruise atau kapal pesiar asing. Kita juga membentuk Badan Otoritas dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Semua langkah ini tujuannya satu, untuk menjadikan kita speed, tidak lelet. Untuk memenangkan persaingan, tak ada kata lain, kita harus bergerak ngebut. Ingat, the fast eat the slow. Kalau kita tidak speed maka kita akan terus dimakan oleh Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Prof. Michael Porter dari Harvard Business School mengatakan ada empat strategi generik untuk memenangkan persaingan, yaitu: differentiation, cost leadership, focus, dan speed. Dari empat strategi tersebut kelemahan utama kita terletak di speed.
Coba saja lihat, dari sisi differentiation dan focus kita memiliki kekayaan alam melimpah masuk dalam top 20 dunia. Dari sisi cost competitiveness bahkan kita masuk top 3 dunia. Sementara dari sisi business environment yang saalah satu elemennya adalah birokrasi/regulasi kinerja kita sangat buruk. Menurut World Economic Forum hanya di posisi 93 yang kemudian naik menjadi 63 tahun lalu.
Smart
Kecepatan yang luar biasa tak akan ada gunanya jika pikiran dan tindakan Anda tidak Smart. Ide dan keputusan yang keliru akan membawa Anda terperosok ke dalam jurang, secepat apapun langkah yang Anda ambil. Karena itu berpikir, bersikap, dan bertindak secara cerdas sangat penting untuk menggapai kemenangan.
Cara Smart pertama adalah melakukan benchmarking. Saya sering mengatakan, cara paling efektif dan paling cepat untuk membawa organisasi kita menjadi yang terbaik adalah dengan melakukan benchmarking. Benchmarking dapat dilakukan antardivisi, antardirektorat, atau ke institusi lain. Dengan benchmarking, semua yang terbaik yang ada di unit atau organisasi lain akan ada di organisasi Anda.
Tidak percaya? Einstein pernah mengatakan, ”Orang biasa itu belajar dari kesalahan diri sendiri, sedangkan saya belajar dari kesalahan orang lain.” Jangan gengsi melakukan benchmarking, memangnya Anda paling pintar? Semakin Anda merasa pintar, maka Anda semakin menjadi orang biasa.
Jangan berpikir bahwa kita telah menemukan sesuatu yang baru, karena di suatu tempat, di suatu masa, seseorang telah berpikir atau telah membuatnya. Jack Welch mengatakannya sebagai NIH (“Not Invented Here”). Awalnya orang-orang GE arogan. Semua gagasan yang tidak datang dari GE dianggap tak berharga. Namun Jack Welch membalikkan paradigma tersebut. Ia marah sekali kalau ada yang tidak mau melakukan benchmarking ke perusahaan lain.
Cara Smart kedua adalah berinovasi. Saya bilang, “hasil yang luar biasa dapat dicapai dengan cara yang tidak biasa.” Kita tak akan bisa memenangkan persaingan kalau terus-menerus bekerja secara rutin alias business as usual. Kita tak akan menjadi yang terbaik kalau terus-menerus melakukan hal yang sama.
Berinovasi berarti kita menciptakan sesuatu yang sama sekali beda. Kata Prof. Chan Kim, penulis buku hebat Blue Ocean Strategy, kalau kita bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali beda (blue ocean), maka kita bisa dengan mudah menghindari persaingan dan persaingan menjadi tidak relevan lagi. Atau dalam ungkapan bijak SunTzu, “kita bisa memenangkan peperangan tanpa peperangan.”
Cara Smart ketiga adalah go digital. Di era disruptive technologies saat ini digital menjadi alat ampuh untuk memenangkan persaingan. Kita melihat Blue Bird begitu mudah digoyang oleh platform digital seperti Grab dan Uber. Industri perhotelan didisrupsi oleh AirBnB. Atau raksasa Kodak takluk oleh digital start-up seperti Instagram.
Karena itu sejak awal memimpin Kemenpar, seluas mungkin saya memanfaatkan platform digital untuk operasi, pengembangan produk, maupun pemasaran. Saya percaya penuh bahwa: The more digital, the more personal. The more digital, the more global. The more digital, the more professional.
Demikian uraian saya mengenai WIN Way. Akhirnya saya berharap bahwa WIN Way bisa bisa menjadi alat ampuh untuk menempa karakter setiap insan Kemenpar agar menjadi insan pemenang.(*)