Sunday, December 17, 2017

CEO Message #28 Peluang Sharing Economy

Sudah dua kali kita melakukan Rakornas tahun ini dan kedua Rakornas itu mengambil tema Indonesia Incorporated. Sesuai budaya kerja kita Solid, kita percaya bahwa pariwisata Indonesia hanya akan bisa maju jika dikerjakan secara kolaboratif dan gotong royong oleh seluruh elemen Pentaheliks yaitu akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan media.  
Saya meyakini bahwa Indonesia Incorporated akan bisa berlangsung efektif jika kita menggunakan cara kerja dan platform digital. Karena itu kalau di CEO Message yang lalu saya membahas mengenai digitalisasi homestay, maka hal yang sama juga berlaku untuk upaya kita mengembangkan Indonesia Incorporated. Indonesia Incorporated akan efektif jika kita digitalisasi.
Caranya adalah kita memanfaatkan dan mengambil peluang sebanyak mungkin dari platform yang kini menjadi keniscayaan dan tren di seluruh seluruh dunia, yaitu: ekonomi berbagi (sharing economy). Karena alasan inilah akhir tahun lalu Kemenpar menginisiasi menciptakan ITX (Indonesia Travel Exchange), sebuah platform sharing economy untuk mengintegrasikan ekosistem pariwisata kita.
ROADS
Pemakaian teknologi digital dalam industri pariwisata mengalami revolusi luar biasa seiring dengan tumbuh pesatnya penetrasi internet dan penggunaan smartphone. Pangsa pasar online travel agency (OTA) meningkat dari Rp 3 triliun di tahun 2015 dan diproyeksikan tumbuh 28% menjadi Rp 10 triliun di tahun 2020. Pertumbuhan OTA tersebut merefleksikan perubahan perilaku travelleyang semakin hyper-connected saat ini dalam merencanakan dan melaksanakan perjalanan wisata.
Umumnya traveller saat ini menginginkan customer experienceyang bersifat Real TimeOn DemandAll Online, dan Do-It-Yourself atau untuk gampangnya disingkat ROADS.
Real Time. Setiap traveller bisa mendapatkan data yang bersifat real time sesuai dengan kondisi saat ini sehingga setiap keputusan pembelian dilakukan secara cepat, lebih akurat, dan efektivitasnya jauh lebih baik. Melalui smartphone yang ada di genggaman, mereka misalnya, bisa mengetahui pergerakan harga tiket pesawat atau tarif kamar hotel detik demi detik, dan saat itu juga memutuskan membeli atau menunda pembelian.
On Demand. Dengan jumlah pasokan/inventory yang semakin banyak dan variatif, para travellers memiliki banyak alternatif pilihan jasa wisata yang mereka inginkan. Dari sisi akomodasi mereka bisa mendapatkan layanan tak hanya dari hotel namun juga dari homestay atau kamar-kamar pribadi menganggur yang begitu mudah kita dapatkan di AirBnB. Untuk transportasi kita bisa mendapatkan layanan dari perusahaan transportasi wisata atau mobil-mobil pribadi yang menganggur melalui Uber atau Grab. Ragam layanan tersebut tersedia untuk berbagai segmen traveller mulai dari yang premium hingga backpacker.
All Online. Setiap traveller akan dapat mengakses pasokan/inventory dan melakukan pencarian layanan (Look), memesan (Book), membayar (Pay) secara online dengan cepat tanpa menunggu antrian dan mudah. Dengan menggunakan platform digital mereka menikmati apa yang disebut “seamless customer experience” dalam mencari, memesan, dan membayar layanan wisata.
Do-It-Yourself. Setiap aktivitas Look-Book-Pay para travellersmulai dilakukan sendiri tanpa perlu bantuan dari petugas customer service. Saat ini di seluruh dunia terjadi tren munculnya apa yang disebut “Free Independent Travellers” (FIT), yaitu travellers yang menyusun sendiri paket liburan mereka, tak lagi menggunakan jasa operator travel. Di Cina misalnya, kini FIT merupakan mayoritas travellers dengan porsi lebih dari 70%.
Social. Dengan perkembangan media sosial maka travellercenderung akan mencari destinasi wisata berdasarkan reviewatau rekomendasi dari komunitas. Sebelum merencanakan liburan mereka sibuk berselancar di internet untuk mengetahui rating dari destinasi wisata, hotel, restauran yang akan mereka kunjungi. Survei global menunjukkan, sekitar 53% travellers tak melakukan booking akomodasi tanpa melihat review dari TripAdvisor terlebih dahulu.

The Rising of Sharing Economy
Seiring dengan perubahan konsumen yang makin digital dan hyper-connected di atas, kini muncul tren sharing economy di sektor pariwisata. Model bisnis berbagi ini merupakan cara baru yang dilakukan oleh generasi baru untuk melakukan bisnis dengan cara yang lebih efisien yaitu saling berbagi dalam memanfaatkan aset atau resources.
Jadi, kalau dulu kita menerapkan pendekatan “owning economy”, maka kini kita menggunakan “sharing economy”. Kalau yang pertama kita harus menguasai aset, yang kedua mengkolaborasikan aset. Kalau yang pertama memerlukan aset (memerlukan capital expenditure), yang kedua praktis tak memerlukan aset. Kalau yang pertama kita harus membeli aset, yang kedua kita cukup mengakses aset. Kalau yang pertama terdapat banyak idle capacity, maka yang kedua kita memanfaatkan semaksimal mungkin idle capacity tersebut. Karena karakteristik semacam ini sharing economy menjadi super-efisien.
Dalberg, konsultan global, mendefinisikan digital sharing economy sebagai: “Sharing assets (physical, financial, and/or human capitalbetween many, without transferring ownership, via a digital platform to create economic value for at least two parties.” Dari definisi tersebut menjadi jelas bahwa sharing economy menitikberatkan pada penggunaan aset secara bersama dan transaksi yang dilakukan melalui digital platform.
Kini mulai bermunculan perusahaan-perusahaan digital yang menerapkan sharing economy dan mampu secara revolusioner mengubah lanskap industri pariwisata. Perusahaan seperti AirBnB yang sama sekali tidak memiliki hotel kini bisa menjadi perusahaan pemesanan kamar terbesar di dunia. Demikian juga halnya Uber yang tidak memiliki armada taksi bisa menjadi perusahaan pemesanan taksi terbesar di dunia.
AirBnB yang didirikan tahun 2007 bermula dari gagasan menyewakan kamar yang kosong. Valuasi perusahaan ini sebesar USD 1.3 miliar di tahun 2012 dengan 2 juta transaksi, selanjutnya meningkat menjadi USD 30 miliar di tahun 2016 dengan lebih dari 36 juta transaksi. Angka-angka fantastis ini melebihi capaian jaringan hotel konvensional seperti Hilton atau Hyatt.
Nilai perusahaan digital yang berbasis sharing economy dalam beberapa tahun terakhir sudah melebihi perusahan yang berbasis asset ownership. Blue Bird dan Garuda Indonesia misalnya, kini memiliki kapitalisasi pasar masing-masing Rp 9,8 triliun dan Rp 12,3 triliun. Sementara pendatang baru berbasis sharing economy seperti Grab dan Gojek telah memiliki kapitalisasi pasar lebih besar yaitu masing-masing Rp 20 triliun dan Rp 38 triliun.  Untuk industri pariwisata, nilai sebuah perusahaan travel agent besar di Indonesia kurang dari Rp. 1 Triliun, sedangkan Online Travel Agent seperti Traveloka bisa bernilai sekitar Rp. 15 Triliun.
Melihat tren dunia tersebut, maka jelas industri pariwisata nasional harus mengambil peluang dari munculnya sharing economy untuk menyatukan dan mengkolaborasikan seluruh elemen Pentaheliks dalam payung Indonesia Incorporated. Untuk mewujudkannya maka diperlukan platform sharing atau platform marketplace yaitu platform dimana pemasok dapat menginformasikan apa yang dimiliki dan dapat digunakan, dan traveller dapat melakukan Look-Book-Pay secara mudah, murah, dan cepat. TripAdvisor dan Ctrip.com adalah contoh platform Look. Booking.com dan Traveloka.com adalah contoh platform Book. Sementara Alipay dan Paypal adalah contoh platform Pay.
Untuk itulah Kemenpar sejak tahun lalu kita berinisiatif mengembangkan ITX sebagai platform Online Travel Agent (OTA) B to B yang dapat digunakan oleh setiap pelaku industri atau komunitas untuk menempatkan inventori yang dimiliki dan kemudian dapat digunakan untuk menawarkan paket-paket wisata kepada para travellers di seluruh dunia.

Menghubungkan Supply dan Demand
Platform sharing economy di sektor pariwisata seperti ITX memiliki tiga peran strategis bagi maju dan berkembangnya sektor ini. Pertama, platform ini mampu mengintegrasikan ekosistem pariwisata secara digital sehingga terjadi kolaborasi dan sinergi untuk menciptakan nilai (value creation). Platform ini akan menghubungkan permintaan (demand) dengan penawaran (supply), yang menghasilkan tiga value yang saya singkat 3C yaitu: customer experience,comprehensiveness, cost effectiveness.
Customer experience. Dengan platform ini kita bisa mewujudkan extraordinary customer experience dimana aktivitas Look-Book-Pay bisa dilakukan dengan sangat mudah, cepat, dan murah. Dengan platform ini kita bisa memberikan customer experience ROADS yang dituntut oleh digital/hyper-connected travellers.
Comprehensive. Dengan platform ini kita bisa melibatkan seluruh elemen Pentaheliks baik di sisi demand maupun supply dalam penyediaan dan pemanfaatan inventory. Siapapun bisa bergabung dan berkolaborasi di dalam platform ini untuk secara bersama-sama menciptakan nilai. 
Cost effective. Dengan paltform ini seluruh pelaku industri pariwisata bisa memanfaatkan digital tools yang tersedia dengan murah tapi sangat efektif (low budget, high impact). Para pemilik homestay di pelosok NTT misalnya, bisa membikin website dan menawarkan homestay-nya ke para travellers di seluruh dunia.

Mendongkrak Market Size
Platform sharing economy begitu urgen kita kembangkan karena ia bisa dapat meningkatkan market size industri pariwisata kita. Terdongkraknya market size ini terjadi karena tiga alasan yaitu terjadinya kenaikan permintaan (demand), melonjaknya pasokan (supply), dan perbaikan proses (process). 
Dari sisi demand, dengan digital maka rantai pasokan dan permintaan menjadi tidak linear lagi. Kenapa begitu? Karena dengan platform digital maka permintaan tidak hanya berasal dari satu sumber namun dari multi sumber dari seluruh dunia (global market) sehingga pertumbuhannya menjadi eksponensial. Begitu homestay kita ditaruh di ITX maka pasar yang kita jangkau menjadi global. The more digital, the more global.
Dari sisi supply, dengan platform ini maka pemilik pasokan (hotel, rental mobil, tour guide, dan lain-lain) akan lebih bervariasi dan tumbuh dengan pesat. Pemilik aset yang under-utilized bisa menyewakan kepada para traveller dengan harga yang lebih murah, yang pada akhirnya akan mengundang traveller dalam jumlah lebih besar lagi.
Sementara dari sisi proses, dengan digital maka segala proses akan lebih mudah dilakukan dengan cepat dan ter-recordsecara digital sehingga dapat dilacak. Salah satu faktor penting dalam kesuksesan proses digital adalah adanya kepercayaan (trust). Karena itu dalam sistem ini setiap pelanggaran akan dihukum secara sosial oleh komunitas dengan memberikan rating yang rendah, yang akan menjadi sumber review utama untuk travellers.

Big Data
Karena platform sharing economy menawarkan segudang solusi (more for less solution), maka pada akhirnya ia akan bisa menarik begitu banyak pelaku industri pariwisata. Pertama-tama peningkatan terjadi di sisi supply yaitu para suplier dan distributor. Dengan banyaknya suplier dan distributor yang berpartisipasi, maka pasokan/inventory yang tersedia menjadi lengkap dan bervariasi. Pasokan yang banyak ini akan menjadi magnet yang mampu menarik para travellers berduyun-duyun datang. 
Dengan pertumbuhan travellers yang besar maka value dari platform inipun akan meningkat. Peningkatannya dari mana? Dari peningkatan jumlah data yang dikumpulkan dari para pelaku di platform baik di sisi supply maupun demand. Dari sisi supply meliputi data transaksi dari suplier dan distributor. Sementara dari sisi demand meliputi data perilaku para travellers seperti: pengeluaran, kebiasaan, tujuan wisata yang diinginkan, lama tinggal, dan lain-lain. Semua data ini membentuk big data yang siap kita olah untuk menghasilkan value yang sangat tinggi.
Big data ini adalah “harta karun” yang dapat digunakan oleh pemerintah (Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, PT. Angkasa Pura dan Pemda) untuk merencanakan dan mengembangkan industri penunjang seperti transportasi, akomodasi, destinasi wisata, kerajinan lokal, dan lain-lain. Sedangkan untuk pelaku industri data-data tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan.

Salam Pesona Indonesia!!!

Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.