Thursday, December 21, 2017

CEO Message #15 Homestay Untuk Desa Wisata

Untuk mengembangkan wisata perdesaan di desa-desa wisata diperlukan konsep low-cost tourism (LCT). Melalui konsep LCT ini kita ingin menjadikan pariwisata sebagai sebuah basicneeds. Untuk itu harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana caranya? Caranya, kita harus menciptakan attractionaccess, dan accomodation (3A) yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas (excess capacity) yang ada.
Nah, untuk mewujudkan accomodation yang murah dan mudah kita harus melakukan terobosan dengan membangun sebanyak mungkin homestay (rumah wisata) di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air. Murah karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau karena dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Mudah karena wisatawan dari seluruh dunia bisa mengakses informasinya melalui Indonesia Travel Exchange (ITX). Dengan inisiatif ini, kita bahkan berambisi untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia.

Identitas Arsitektur Nusantara
Akhir Oktober lalu bertempat di Gedung Sapta Pesona kita mengumumkan para pemenang Sayembara Desain Arsitektur Nusantara untuk homestay. Kita menetapkan 10 pemenang yang mewakili desain arsitektur homestay untuk 10 destinasi prioritas yang sudah kita tetapkan. Ke-10 desain homestay ini nantinya akan menjadi acuan pembangunan homestay di Tanah Air. Dengan begitu diiharapkan desain arsitektur kita memiliki ciri khas yang mengacu pada budaya dan kearifan lokal Nusantara.
Ide penyelenggaraan sayembara tersebut berawal dari keprihatinan Bapak Presiden mengenai tak adanya identitas arsitektur Nusantara. Seni dan budaya membangun rumah adat di Indonesia itu begitu beragam. Ratusan jumlah suku memiliki ratusan model arsitektur. Ada Rumah Bolon di Sumatera Utara, Tongkonan di Toraja, Joglo dan pendopo Limasan di Jawa, atau rumah adat Bali dengan ornamen yang khas. Namun kini ratusan warisan desain itu kian tergusur oleh model-model arsitektur dari luar yang menyerbu hampir di semua kota di Tanah Air.
Dua kali Pak Presiden mengingatkan saya mengenai pentingnya identitas ini. Pertama saat melakukan kunjungan kerja ke Mandeh, Pesisir Selatan, beliau mengingatkan agar arsitektur Nusantara dilestarikan. Secara khusus Bapak Presiden mengingatkan agar kita melestarikan arsitektur atap rumah Bagonjong di Minangkabau Sumatera Barat.
Kedua pada saat kunjungan kerja ke Borobudur beliau mengingatkan sekali lagi pentingnya identitas ini. Beliau mengatakan, agar tidak membuat candi Borobudur menjadi benda yang asing, maka pada saat akan memasuki kawasan wisata bersejarah tersebut kita harus mengondisikannya dengan bangunan-bangunan rumah yang selaras dengan arsitektur Borobudur.

Target 100.000 Homestay
Sayembara Desain Arsitektur Nusantara untuk homestaydilakukan tak hanya sekedar untuk melestarikan kekayaan budaya kita, tapi lebih strategis lagi untuk memenuhi kebutuhan akomodasi yang sangat besar dalam rangka mewujudkan visi mendatangkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara di tahun 2019. Untuk mewujudkan visi tersebut setidaknya kita butuh 100 ribu kamar di berbagai destinasi wisata utama kita.
Coba kita sedikit berhitung. Kalau pukul rata setiap hotel memiliki 100 kamar, maka untuk mewujudkan target di atas kita butuh setidaknya 1000 hotel. Ambil contoh hotel chainterbesar, salah satunya Accor Group, hanya mampu membangun sebanyak 100 hotel hingga 5 tahun ke depan. Ambil rata-rata per hotel memiliki 200 kamar, maka Accor hanya mampu menyediakan 20.000 kamar.
Itu satu isu. Isu yang lain, hotel chain seperti Accor Group tentu saja tak mau membangun hotel di sembarang lokasi. Ia akan membangun hotel di kota-kota besar dengan pasar yang sudah terbentuk. Sementara itu kita justru ingin membangun hotel-hotel di seluruh Indonesia, langsung saya sebut saja di desa-desa wisata.
Untuk mensolusikan dua isu tersebut kita perlu terobosan dalam menyediakan akomodasi. Ingat, hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak biasa. Terobosan yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun homestay. Karena skalanya kecil, membangun homestay akan lebih mudah dan lebih fleksibel dibandingkan membangun hotel. Pembangunan homestay juga bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air karena nantinya homestay tersebut akan dimiliki oleh masyarakat di sekitar destinasi wisata.
Ambil contoh di sebuah desa di Ende Flores yang letaknya jauh terpencil namun memiliki atraksi wisata yang luar biasa. Di lokasi ini kita akan relatif sulit menarik investor untuk membangun hotel dengan 100 kamar. Namun tidak demikian halnya dengan homestay. Membangun 100 homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Misalnya kita memerlukan lahan sekitar 1 hektar.  Katakan sekitar 30% dari lahan tersebut disisihkan untuk fasilitas umum, maka masih ada 7000 m2 yang bisa dikapling-kapling untuk dijadikan 100 homestay type LT/LB berukuran 70/36 m2, yang  pembangunannya-pun dapat dilakukan secara bertahap.

Skema Pembiayaan
Tadi saya katakan bahwa masyarakat setempat akan berkesempatan untuk memiliki homestay-homestay yang dibangun. Lalu bagaimana caranya? Agar mereka bisa memiliki, maka kuncinya adalah di pembiayaan. Skemanya ada dua jenis, yaitu subsidi dan non-subsidi.
Untuk skema subsidi, karena homestay ini sekaligus merupakan bagian dari  upaya untuk membangun rumah untuk rakyat, maka pemerintah harus memberikan subsidi. Untuk itu kita bekerjasama dengan BTN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Di sini BTN akan menyalurkan sumber dana untuk pembiayaan homestay tersebut dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menggunakan sistem Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Untuk skema subsidi ini homestay yang dibangun haruslah menggunakan desain hasil Sayembara Desain Arsitektur Nusantara.
Kurang lebih skema pembiayaannya adalah sebagai berikut. Misalnya harga homestay type 70/36 adalah Rp 125 juta, maka agar terjangkau, uang mukanya sekitar 1% dari nilai rumah, dengan bunga fix sekitar 5%, tenornya bisa mencapai 20 tahun. Dengan demikian cicilannya relatif ringan di bawah Rp.1 juta per bulan, katakanlah Rp.800 ribu. Kalau homestay tersebut disewakan dengan harga Rp.150 ribu, maka dengan 4 kali weekend (8 hari sewa) pemilik homestay akan bisa mendapatkan Rp.1,2 juta per bulan.
Kalau diambil nilai aman 80%, maka si pemilik masih mendapatkan Rp.960 ribu per bulan, sehingga masih feasible. Itu belum memasukkan pemasukan untuk weekdays. Anggaplah pemasukan di weekdays adalah bonus. Dengan perhitungan sederhana tersebut terlihat bahwa perhitungannya masuk dan prospeknya cukup menjanjikan bagi pemilik homestay.    
Itu untuk yang subsidi. Bagaimana dengan yang non-subsidi? Dengan prospek yang cukup menjanjikan tersebut, untuk beberapa daerah, skema commercial loan sesungguhnya tidak menjadi masalah karena masih cukup menguntungkan. Untuk yang non-subsidi, mungkin luasan homestay bisa lebih fleksibel, desainnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan, atau bisa juga homestay-nya merupakan renovasi dari rumah yang sudah ada.
Rekan-rekan Kemenpar, kita akan menjadikan pembangunan 100 ribu homestay yang akan kita mulai tahun depan sebagai momentum untuk mendorong terwujudnya low-cost tourism. Seiring dengan pembenahan access dan digitalisasi melalui platform ITX, kita ingin menjadikan homestay sebagai katalisator bagi terwujudnya pariwisata sebagai basic needs. Itu sebabnya kita menempatkan airlines (access), digitalisasi, dan homestay sebagai program utama kita tahun depan.

Dengan konsep low-cost tourism yang diimplemantasikan melalui pembangunan homestay untuk desa wisata ini, akan menjadikan pariwisata sebagai basic needs.
Sekali lagi, hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak biasa.

Salam pesona Indonesia.    

Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.