Wednesday, October 4, 2017

CEO Message #34 Waspadai Vietnam

Dalam beberapa CEO Message terakhir, saya beberapa kali menyinggung tentang Vietnam dimana pertumbuhan sektor pariwisatanya cukup mencengangkan. Pertumbuhan pariwisata yang signifikan di tahun 2016 menempatkan Vietnam sebagai negara ketujuh di dunia dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia versi UNWTO (World Tourism Organization).
Dalam hal pertumbuhan, sekarang pesaing kita bukan lagi Malaysia, Singapura, atau Thailand yang pertumbuhan pariwisatanya di bawah 5%. Saingan kita sekarang adalah Vietnam yang menjadi investor darling. Pertumbuhan pariwisata Vietnam tahun 2016 naik 24,6% dibanding tahun 2015. Bahkan, jumlah kunjungan wismannya per Juli 2017 naik lebih dari 30% dibanding periode yang sama pada 2016 (year on year). Berdasarkan laporan The Telegraph.co.uk, hanya Vietnam dan Indonesia yang mewakili ASEAN, yang masuk dalam kategori Top-20 Fastest Growing Travel Destinations In The World.
Common Enemy
Dalam WIN Way yang saya cetuskan sebagai corporate culture Kemenpar, dengan 3 nilai utama Solid, Speed, Smart. Salah satu jurus untuk menciptakan soliditasadalah menciptakan musuh bersama (common enemy). Dengan menciptakan musuh bersama, kita bisa menyatukan langkah dan memfokuskan sumber daya yang kita miliki untuk melawan musuh bersama tersebut. Dalam konteks bisnis istilah “musuh”, terkadang lebih pas dipertukarkan dengan istilah pesaing. Karena pada dasarnya saat ini terjadi persaingan yang sengit antar satu destinasi dengan destinasi lain, antar satu negara dengan negara lain, bahkan persaingan antar regional.
Kenapa Malaysia dan Thailand disebut sebagai negara-negara pesaing, tak lain karena kita harus menciptakan “musuh bersama” yang harus kita kalahkan. We need a common enemy to unite us.” Kita butuh musuh bersama sebagai pengikat persatuan dan katalis untuk mewujudkan kemenangan. Malaysia adalah “musuh” kita secara emosional, sedangkan Thailand musuh profesional.
Di tahun 1990-an Samsung mencoba menggapai ambisinya untuk menjadi pemimpin pasar dengan menciptakan common enemy yaitu Sony yang sangat perkasa kala itu dengan meneriakkan semboyan: “Beat Sony!!!”. Ambisi yang awalnya mustahil itu kini terwujud. Dengan semangat yang sama kita pun meneriakkan semboyan: “Beat Malaysia!!!” dan “Beat Thailand!!!”.
Kini, muncul satu lagi pesaing yang harus diwaspadai kalau kita tidak mau disalip di tikungan...  Vietnam!
Saya selalu mengatakan agar kita meresapi betul apa yang difatwakan oleh Sun Tzu: “Kenali musuhmu, kenali dirimu, maka kamu akan memenangkan peperangan”. Karena itu kita harus tahu betul bagaimana Vietnam bisa mencetak pertumbuhan double digit pada sektor pariwisatanya beberapa tahun terakhir?
Deregulasi adalah Kunci
Faktor penting yang menjadi kunci sukses pariwisata Vietnam adalah deregulasi. Pertumbuhan pariwisata Vietnam yang signifikan di tahun 2016, terjadi lantaran mereka melakukan deregulasi ulang sektor pariwisatanya mengacu pada praktik-praktik terbaik. Karenanya banyak investor yang tertarik berinvestasi di Vietnam.
Sebaliknya di Indonesia, pariwisata kita masih tersandung oleh regulasi yang di berbagai aspek menimbulkan inefisiensi. Regulasi yang tidak efektif membuat bangsa ini susah bersaing. Kita menjadi sangat lambat seperti siput. Terlalu banyak regulasi yang mengikat dan menjerat diri kita sendiri. Hal ini ditunjukan dengan peringkat pilar Business Environment dalam Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) Indonesia berada dalam rangking 63. Menanggapi hal ini berulang kali saya tegaskan bahwa, persaingan saat ini adalah yang cepat akan memakan yang lambat. Deregulasi adalah jurus paling ampuh untuk meningkatkan kecepatan atau mengimplementasikan nilai speedyang merupakan salah satu nilai dalam corporate culture WIN-Way.
Vietnam dengan kebijakan "Doi Moi" atau reformasi ekonomi sejak 1986 silam mengubah haluan dari ekonomi sosialis terpusat menjadi sosialis berorientasi pasar terbuka (socialist-oriented market economy). Sebelum “Doi Moi” diluncurkan, ekonomi Vietnam mengalami krisis, inflasi hingga 700%, pertumbuhan ekonomi melambat, dan mengalami defisit neraca perdagangan.
Melalui kebijakan ini pemerintah sosialis Vietnam mulai menerapkan kebijakan pro-pasar, memberikan iklim yang sejuk bagi foreign direct investment, dan memberikan banyak insentif dan kemudahan terhadap investasi termasuk untuk sektor pariwisata. Dalam bidang pariwisata mereka telah menetapkan visi 2030 dimana mereka telah memilih sektor ini sebagai leading sector dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Situasi politik dan keamanan yang relatif stabil juga menjadi penentu melesatnya sector pariwisata mereka. Stabilitas politik di Vietnam relatif paling stabil untuk lingkungan ASEAN. Stabilitas politik di negara yang kini memiliki 10 world heritages dan 30 national parks inilah yang turut mendorong peningkatan jumlah kunjungan wisatawan.

Dari sisi produk dan branding, Vietnam menggunakan tagline Vietnam: Timeless Charm” yang menawarkan empat segmen pasar yang berbeda yaitu: 1. culture. 2. coast. 3. eco-based tourism. 4. city-breaks. Kalau kita memiliki 10 destinasi prioritas yang populer dengan sebutan “10 New Bali”, mereka juga telah menetapkan 7 zona pariwisata dengan keunikan produk dan branding di masing-masing zona.
Vietnam’s Tourism Product System and Regional Brands (7 Zones)
 
Vietnam juga melakukan pemberlakuan E-Visa yang mana menjadi salah satu faktor penting melonjaknya jumlah wisman mereka. Kita bahkan sudah melakukan lebih dulu, pemberlakuan bebas visa kunjungan terbukti memang meningkatkan kurang lebih 20% kunjungan wisman.
Selain itu, Vietnam juga terus menggenjot kemudahan akses untuk konektivitaspariwisatanya. Banyaknya LCC yang beroperasi tentu memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk berkunjung. Saat ini, Vietjet beroperasi pada 60 rute domestik dan internasional dan ditargetkan ada 200 pada tahun 2023. Kita juga sudah melakukannya mulai tahun ini, dengan melakukan lobi ke maskapai-maskapai untuk menambah jumlah penerbangan dan membuka rute sebanyak-banyaknya ke berbagai destinasi wisata kita.
Faktor yang lain, menurut laporan Majalah Forbes, Vietnam disebutkan sebagai salah satu destinasi pariwisata yang paling murah dalam hal biaya transportasi, akomodasi, dan makanan. Namun, dalam hal ini, menurut TTCI kita masih lebih unggul dari Vietnam. Price competitiveness Indonesia berada di peringkat ke 5 sementara Vietnam di peringkat 35.
Kemudian, harus diakui, suksesnya film “Kong Skull Island” nampaknya juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pariwisata Vietnam. Harus diakui, eksposur melalui film, apalagi film Hollywood, sangat dahsyat dampaknya. Ingat, bagaimana New Zealand mendapat berkah dari trilogi film “Lord of the Ring” atau Irlandia Utara moncer berkat serial “Game of Thrones”. Semua itu berkat insentif dan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah mereka dalam produksi film.
Belajar dari apa yang telah dilakukan Vietnam tersebut, maka deregulasi adalah resep yang paling cespleng untuk membuat pariwisata semakin maju. Kita harus terus membenahi dan revisi aturan-aturan yang membelenggu dan menghambat.
Mengakhiri CEO Message ini, saya kembali mengingatkan, bahwa kini telah muncul satu pesaing baru secara profesional yang harus kita waspadai. Dengan soliditas yang kita punya, kita pasti bisa menjadi yang terbaik di regional Asia Tenggara. Momentum percepatan yang menggembirakan semester lalu jangan membuat kita lengah. Kita harus yakin, 15 juta wisman akan tercapai tahun ini!  

Salam Pesona Indonesia!!!


Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.